8. ATAP

155 94 14
                                    

8. ATAP

"Bukan manusia namanya jika menyerah begitu saja dalam menggapai keinginannya, apalagi soal rasa. Meski langkah pertama terkesan awur-awuran, ia percaya akan ada stok untuknya merasakan sesal."
-From Story BUM

***

Langit berada di atap. Cowok itu berdiri dengan tegap di sana. Pandangannya lurus ke atas. Mencoba mencurahkan semuanya hanya dengan menatap awan di atas sana, agar rasa tenang bisa ia raih kembali.

Tiba-tiba ada cengkraman kasar yang dirasakan Langit pada bahu sebelah kanannya. Kaget. Denyut nadinya berkerja lebih cepat bak orang yang telah selesai berlarian. Pelan-pelan ia memutar posisinya.

Burkk!!

Saat alih-alih tangannya terlepas dari bahu Langit, tangan Angkasa bak mencekram batu. Satu pukulan mendarat tepat di pipi Langit. Langit goyah beberapa detik karena serangan tiba-tiba Angkasa. Tangannya meraih sudut bibirnya yang merasakan ada darah segar mengalir.

Bumi, Venus, dan Bintang hanya berhenti di depan pintu sana. Menyaksikan hal yang diluar kendalinya. Sedikit tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Venus bergegas untuk menghajar balik Angkasa.

"Bisa-bisanya Angkasa hajar Langit di hadapan kita, dia pikir dia siapa?!" celetuk Venus dengan cengiran sinis menatap Langit dan Angkasa di sana.

Namun Bumi langsung meraih arah gerak Venus. Di susul Bintang yang dalam keadaan saat ini mampu sefrekuensi dengan pola pikir Bumi.

"Jangan!" ujar Bumi geleng-geleng kepalanya. "Biarin, kita liat dari sini aja," tambah Bumi mendekat ke arah Venus.

"Kalo kelewatan, baru kita samperin. Saat ini, bukan waktu yang tepat untuk melerai keduanya," ujar Bintang mengangguk tersenyum yang kali ini dengan senyumannya yang serius.

Langkah Venus berhenti di hitungan ketiga langkah kakinya. Berkat Bumi dan Bintang. Ia mengatur hembusan nafasnya, mengontrol amarahnya.

"Gue gak abis pikir akan sebocah ini lo hadapin masalah," Angkasa menatap Langit dengan tatapan juga senyum sinis miliknya. Sedangkan Langit hanya memandangnya datar.

"Lo udah gede. Bukan pada tempatnya lo bersikap macam ini. Percuma lo pinter kalo setiap ada masalah lo kabur!" Angkasa masih berada tepat di hadapan Langit. Berusaha meluapkan kekesalannya dengan Langit yang menurutnya bertindak tak rasional.

"Inget ke manapun lo pergi; lo bawa jiwa lo, lo bawa pikiran lo, lo bawa hati lo. Sejauh apapun, tetap masalah akan selalu ngejar-ngejar lo kecuali lo kelarin." Angkasa menyaksikan ada reaksi yang telah ia lontarkan.

Langit sedikit terdiam untuk beberapa saat. Menelan semua ucapan pedas yang keluar dari mulut Angkasa. Benar adanya, terlalu munafik menghindari sebuah masalah. Pasalnya selain lari dari tanggung jawabnya, juga merupakan sifat pecundang yang hanya ingin terlihat benar.

Tanpa aba-aba, baru saja Langit membenarkan pandangannya. Sorotannya jatuh pada ketiga temannya yang kian berdiri di depan pintu sana.

"Ngapain lo ngehajar Langit?" tanya geram Venus yang sedari tadi ia tahan akhirnya terluapkan.

Tangan Venus langsung sergap meraih kasar kerah Angkasa. Membuat Angkasa perlahan mundur sembari menatap lekat Venus. Kedua tatapannya saling bertemu. Seperti akan terjadi pertarungan sengit antar keduanya.

"Lepas!" kasar Angkasa meraih tangan Venus. Wajahnya memperlihatkan senyuman sinis menatap Venus.

Brukkk!!

Bumi untuk Matahari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang