Anandhi berjalan menuruni anak tangga menuju dapur atau lebih tepatnya meja makan karena hari ini dia bangun kesiangan membuat perutnya keroncongan minta diisi makanan.Saat sudah dipijakkan anak tangga terakhir Anandhi bertemu dengan Ibunya. Kartika sudah rapi dengan tas jinjing hitam mahal miliknya.
Tanpa salam atau sapaan hangat Kartika langsung pergi menuju pintu ke luar rumah karena dia pasti akan bertemu dengan teman lamanya (Reuni).
Melihat hal itu Anandhi hanya diam, sakit? Tentu. Tapi dia bisa apa? Lihatlah semalam dia mengungkapkan minta ditemani bukannya ditinggalkan malah mendapat perkataan kasar dan tamparan dari ayahnya. Lantas sekarang dia harus berbuat apa? Tuh dia mengungkapkan tidak menjamin mereka akan menghiraukan.
Jika orang lain bilang ditinggal mati orang tua itu amatlah menyakitkan, maka bagi Anandhi amat menyakitkan lagi orang tua yang masih ada tapi hidup seperti tidak memiliki orang tua.
Anandhi kembali berjalan menuju ke arah dapur dengan tubuh lesu. Sakit diabaikan oleh Langit, tapi tidak sesakit diabaikan orang tua.
Salah saja dia tidak tahu? Lantas kenapa orang tua layaknya tidak mau menganggap hadirnya? Jika memang tidak ingin memiliki anak kenapa melahirkan anak? Anandhi tidak memaksa ingin dilahirkan di dunia atau dia keluarga ini, tapi kembali kepada kita sebagai manusia, apakah kita dapat memilih dari keluarga mana kita dilahirkan? Tentu saja tidak bukan?
"Pagi, Nona," sapa Bik Asih yang melihat kedatangan Anandhi.
Anandhi hanya mengangguk dengan tersenyum miris. Salahkah jika dia berharap menjadi anak pembantu di keluarga mereka saja ketimbang menjadi anak majikan di rumah ini?
Setidaknya dia ada yang sayang walaupun hanya anak pembantu rumah tangga.
"Mau makan apa, Non?" tanya Bik Asih membuat lamunan Anandhi buyar.
"Mau nasi putih, tahu goreng itu sama sop ayam aja," ucap Anandhi sambil menundukkan dirinya di kursi.
Jika di luar Anandhi menunjukkan betapa kaya dan sambongnya dia dengan makanan serta barang mahal, maka tidak di rumahnya.
Dia akan bersikap seperti gadis sederhana dengan makanan seadanya. Jika dia bersikap sombong dengan kekayaannya maka percayalah itu hanya pelampiasannya kepada kedua orang tuanya.
Orang tuanya selalu bilang kekayaan itu penting, lantas apa kekayaan yang begitu penting bisa membuat orang bisa bahagia? Anandhi mencobanya dan bukannya bahagia dia malah merasa hampa.
Bohong jika Anandhi tidak menyukai uang, pada kenyataannya setiap manusia itu menyukai uang, hanya saja bukan ini yang Anandhi inginkan. Bukan uang berlebih sampai membuat orang tuanya melupakannya.
"Non, tadi malam nyonya dan tuan tidak ...." Ucapan Bik Asih terhenti saat Anandhi mengangkat satu tangannya.
"Aku tidak ingin membas hal itu lagi, Bik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Langit (On Going)
RomanceTakdir hidup ini layaknya daun. Apabila sudah sampai waktunya maka dia akan gugur. Begitu pula dengan datang dan perginya cinta. Jika sudah ditentukan di mana hati memilih di situlah tujuan untuk menetap. "Kau tahu, Langit?!" "Mencintaimu sama seper...