Ujung jalan

135 10 0
                                    

Anin mengemasi bajunya. Setelah selesai mengemasi baju Vinan dan ibu.
Ia berencana akan pergi dari sana tanpa sepengetahuan Kevin. Ia sudah banyak merugikan orang lain. Ia sudah banyak membuat Kevin kehilangan apa yang telah Kevin perjuangkan dengan bekerja sangat keras.

"Bunda, kenapa kita harus pergi?"

"Kita ngga boleh disini nak."

"Kenapa? Apa karena orang jahat kemarin?"

"Ini bukan tempat kita."

"Ini rumah Daddy, rumah kita." Jawab Vinan polos.

"Kita ngga boleh bikin Daddy punya pilihan. Antara kita atau perusahaan. Jika kita tidak terlibat, tidak ada pilihan bagi Daddy."

"Nin ini handphone kamu." Kevin membuka pintu kamar Anin, kaget melihat koper, tas dan baju-baju yang sedang Anin kemasi.

"Daddy." Vinan berlari ke arah Kevin, reflek Kevin menggendongnya.

"Nin, apa ini?"

"Maafkan saya pak. Saya memilih pergi."

"Maksud kamu?"

"Jika tidak ada kami, maka tidak ada alat untuk mengancam. Dan perusahaan itu masih milik pak Kevin saat ini. Mau sampai kapan kami menyusahkan pak Kevin."

"Kamu mau ninggalin saya Nin?"

"Bukan begitu maksud saya."

"Kamu mau pisahin saya sama Vinan Nin?"

"Ngga pak."

"Lalu? Kenapa pergi?"

"Saya malu. Saya malu karena ada saya, beberapa orang dirugikan dengan jumlah yang sangat besar. Tapi saya tidak bisa berbuat apapun. Fajar, pak Kevin, semua karena saya kalian kehilangan perusahaan."

Mereka terdiam cukup lama. Anin dengan penyesalan, dan Kevin tidak percaya Anin tega benar-benar ingin pergi.

"Daddy, don't cry." Vinan menghapus air mata Kevin yang entah kenapa bisa mengalir. Karena selama ini dia fikir ia tak punya air mata tersebut.

"Jangan tinggalin Daddy nak. Daddy mau sama Vinan. Please."

"I'm promise Dad." Pelukan mereka berdua meluluh lantakan hati Anin.

"Pak, biarkan semua normal kembali setelah kami pergi."

"Vinan, ke kamar kamu ya, Daddy mau bicara sama bunda sebentar. Always remember your promise."

"Baik Daddy."

Pintu kamar telah ditutup setelah Vinan pergi.

"Maafkan keputusan saya pak. Tapi percayalah ini untuk kebaikan pak Kevin."

"Ngga. Ini karena saya sudah tidak punya apapun kan?"

"Ngga sama sekali. Ini karena saya sudah banyak merugikan pak Kevin, saya malu."

"Kamu mau pergi Nin?"

"Iya pak."

"Itu keputusan kamu?"

"Iya pak."

"Ini handphone buat kamu, yang kemarin terbanting karena kejadian di parkiran rumah sakit tempo hari, rusak tidak bisa diperbaiki lagi. Pergilah, dua hari lagi kemari. Saya janji kamu akan melihat saya terbujur kaku tidak bernyawa biar kamu senang."

"Ngga." Anin menjatuhkan diri di lantai, tulangnya melemas mendengar ucapan Kevin. Ia menunduk sembari menangis tanpa suara.

"Puas kamu dengan keputusan yang kamu ambil? Terimakasih atas kasih sayang, dan apapun yang kamu berikan kepada saya selama ini. Terimakasih telah memberi warna baru dalam hidup saya selain hitam."

RapuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang