Teman

190 20 0
                                    

Semenjak kejadian itu, Anin menghilang dari hidup Kevin.
Anin sudah bekerja dua bulan di club' malam. Hanya sebatas sebagai office girl. Anin bertugas membersihkan lokasi ketika sudah tutup dan kembali membersihkan ketika hendak buka.

Anin sama sekali tidak menikmati pekerjaan ini. Tetapi kebutuhannya dan ibu cukup mendesak, mengingat ia tak bekerja selama beberapa bulan baru kemudian mendapat pekerjaan ini.

Hingga pada suatu hari, club' malam tersebut di booking oleh seorang anak konglomerat, digunakan untuk launching produk salah satu brand pribadi.
Anin diminta membantu, tetapi hanya boleh di belakang layar. Mereka bilang body Anin kurang goals sebagai pegawai depan club' malam. Acara hiruk pikuk telah dimulai, Anin duduk di lantai bersandar tembok dekat lorong toilet. Badannya terasa sangat lelah, ia meregangkan otot-otot leher yang entah kenapa serasa ditarik-tarik.
Mata Anin menangkap sosok familiar sedang memandangnya dengan pandangan jijik.

"Habis berapa botol?"

"Bukan urusan bapak." Anin meninggalkan orang tersebut di lorong.

Setelah pesta usai, Anin masih harus bekerja keras membereskan semuanya. Ini sudah menjelang subuh, bahkan sayup adzan sudah bisa Anin dengar. Lagi Anin masih memegangi lehernya yang kini semakin kaku.

"Pesta udah usai dua jam lalu, kamu baru keluar? Berapa orang yang kamu layani? Kenapa ngga ambil short time? Setidaknya kamu ngga malu sama ayam yang udah berkokok."

Tanpa sedikitpun Anin ingin menjawab. Orang gila bernama Kevin ini sudah terlalu buruk menilai Anin.
Langkah kaki Anin terhenti, ketika lengannya ditarik paksa.

"Mama harus liat kamu sekacau ini, biar mama sadar, pemabuk macam kamu ngga pantes setiap hari ditanyain, dan diharap kedatangannya."

Anin memaksa melepas cengkraman tangan Kevin dengan kasar.

"Dasar wanita murahan."

Sama sekali Anin tak menghiraukan. Ia berlalu meninggalkan Kevin. Entah untuk yang keberapa kali ia harus pergi menjauh dari Kevin.
Sejauh ia pergi, selalu Kevin menemukannya, Anin yakin ini suatu kebetulan dan ketidaksengajaan.

Kesal dengan sikap Anin yang tak menghiraukannya, Kevin mengejar dan berteriak di depan wajah Anin.
"Kenapa harus kamu yang mama saya pengen?"
Mendengar bentakan Kevin, Anin reflek berjongkok, berusaha menyembunyikan kepala dengan menunduk dan menutupi dengan tangan.

Kevin justru kaget melihat Anin. Ia berharap Anin melawan, bukan seperti ini.

"Ampun pak Kevin, ampun. Saya salah apa lagi sama bapak? Saya sudah berusaha menghindar jika tidak sengaja berpapasan, menjauh dari bapak sejauh yang saya bisa." Suara Anin terbata, menahan Isak tangis.

"Menghindar?"

"Ya, beberapa kali saya melihat bapak di jalan, saya sudah berusaha menjauh, saya melihat bapak sedang makan siang yang kebetulan saya mencari kerja, saya ngga jadi melamar kerjaan di tempat bapak makan, saya tadi sudah melihat bapak, makanya saya tidak muncul ke tempat umum, saya hanya duduk karena saya lelah, saya tidak tau kalau bapak ada di toilet. Sumpah saya ngga tau. Ampun pak."

"Ampun?"

"Iya pak, salah saya apa bapak sampai sebenci itu sama saya? Saya tau bapak tidak suka sama saya, saya pun sama, tapi saya tidak membenci siapapun, walaupun karena bapak keluarga saya jadi susah, karena saya menganggur, tetapi saya tidak dendam. Rejeki bukan bapak yang ngatur."

Kali ini Kevin tersentil hatinya, karena ulahnya ada sebuah keluarga yang menderita.

"Jangan menggiring saya agar iba sama kamu."

"Ngga pak, saya mau pulang, saya capek, saya kerja dari sebelum petang, dan jam segini baru selesai membereskan semuanya."

"Kamu mabok?"

RapuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang