"Bi, anter pulang yuk."
"Pulang kemana?"
"Ke rumah mama."
"Mama mertua?"
"Bi, jangan ngadi-ngadi deh."
"Mending lu tanya pak Kevin dulu, ngapain dia bawa lu kesini hari ini, setelah kemarin dia mengacau dan berhasil membuat dept penjualan mengundurkan diri separuh team."
"Biiiiiii...." Anin merengek memegangi kemeja Bian.
Anin dan Bian diam seketika, karena Kevin tetiba ada di sebelah Anin. Melihat pemandangan aneh mereka berdua di lorong."Anin pak, bukan saya." Bian terlihat kikuk.
"Kenapa?" Tanya Kevin.
"Saya mau pulang saja pak." Anin menunduk, mengutarakan pendapat dengan takut.
"Ikut saya ke ruangan." Perintah Kevin.
"Ngga." Kali ini Anin tegas menolak.
"Kenapa?" Kevin mengerutkan kening, maju beberapa langkah dan posisi mereka sudah tak berjarak.
"Iya baik pak. Saya kesana." Anin hendak beranjak menuju ruangan Kevin sesuai perintah, tetapi tangannya dicegah oleh Kevin sendiri.
"Kamu maunya gimana?"
"Apa kata pak Kevin saja."
"Yakin apa kata saya?"
"Pak, proyek kita kenapa ngga di batalin sama pak Fajar, setelah kejadian kemarin saya fikir beliau benar-benar ingin membatalkan semuanya." Bian penasaran.
"Coba kamu tanya sama temen kamu ini."
"Emang lu ngapain Nin?"
"Biiii....kenapa sih lu bahas ini sekarang." Anin merengek kesal.
"Gue dari kemarin juga penasaran, baru inget sekarang buat tanya." Jawab Bian.
"Biiii...anterin gue pulang." Cicit Anin sembari menghentakan kaki.
Mendengar Anin menyebut nama Bian dengan manja, Kevin merasa terganggu.
"Ke ruangan saya."
Anin berjalan membututi Kevin dan diikuti juga oleh Bian. Semua pasang mata tertuju padanya. Termasuk beberapa orang yang sedang sibuk memasukan barang pribadi dari meja ke dalam kardus.
Di ruangan Kevin, Anin masih berdiri di dekat Bian yang duduk di hadapan Kevin. Padahal kursi ada dua, tapi kenapa hanya Bian yang duduk."Pak, mereka benar-benar mengundurkan diri?" Tanya Bian.
"Ya, kemarin setelah meeting mereka mengajukan surat pengunduran diri."
"Bi, salah gue ya?" Wajah Anin memelas.
"Salah gue lah, yang bisa minta rekaman CCTV kan cuma gue." Jawab Bian.
"Kok gue merasa bersalah ya." Cakap Anin.
"Mereka ada 3 team, satu team ada 5 orang, dan pekerjaan mereka bisa lu gantikan sendiri."
"Penjualan kamu ngga langsung ke customer perorangan, tapi ke perusahaan lain. Itu hebat, baru kali ini produk yang tidak miliki brand besar seperti yang kita punya bisa gol ke proyek sebesar ini. Dan ini semua berkat kamu. Bukan kah kamu hebat?" Kevin ikut memberi pengertian.
"Tapi tidak harus mengorbankan orang lain seperti ini." Cicit Anin.
"Nin, gue tau hancurnya lu ketika mereka ngerjain lu. Jadi please, kali ini lu harus tega, lu ngga boleh bersikap begini. Mau sampai kapan hidup lu mikirin orang lain terus? Diri lu juga butuh bahagia." Bian terlihat lebih mendendam dari pada Anin sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rapuh
General FictionTentang sebuah hati yang sudah tak berbentuk lagi. Ketika kata hancur sudah terlalu baik, maka istilah apa yang pantas menggambarkan hati Anin?? Dunia terasa begitu kejam pada kehidupan Anin, pemikiran untuk selalu bekerja agar dapat mencukupi kebut...