part.01

304 13 11
                                    

"Ma, kalau misalnya Papa beristri lagi, Mama keberatan tidak?"

Aku yakin, senyum tengil ia tampilkan di belakangku saat ini. Meski begitu, rasanya tetap saja menjengkelkan.

Kenapa?

Ya, karena...

Ini sudah pertanyaan yang kesekian kali yang ia lontarkan padaku. Rasanya campur aduk. Antara jengkel, marah, kesal bahkan kini sudah mencapai tahap murka.

Apa dia tidak bosan menanyakan hal itu berulang-ulang kali. Apakah dia amnesia dengan jawabanku yang lalu-lalu atau ia buta sehingga tidak bisa melihat keadaan ekonomi keluarganya ini. Kenyataannya, ia tidak buta. Lalu kenapa? Argh! Aku yang teramat jengkel dicampur marah. Menjawab dengan kasar.

"Beristri sajalah sana, gak usah banyak tanya. Bosan aku setiap hari mendengar itu terus yang kamu katakan?!" Setelah mengucapkan itu gerakan tanganku semakin tidak beraturan, ketika mencuci beras di panci kecil. Sehingga banyak beras terlempar keluar dari panci tersebut.

Sebenarnya sayang, melihat beras banyak terbuang. Yang untuk mendapatkan saja butuh waktu bekerja seharian penuh sebagai tenaga upahan. Namun, karena kepalang emosi, apalagi penuh dengan amarah seperti sekarang. Beras tumpah pun aku sudah tak peduli.

Tidak kah ia melihat. Betapa capek serta lapar istrinya ini. Baru pulang kerumah dari kebun tetangga yang memintaku untuk mencabut rumput. Sebelum pulang pun, aku mampir dulu di warung untuk membeli beras dari uang hasil upahan tersebut. Karna memang persediaan beras di rumah sudah habis.

Belum juga rasa lelah itu hilang. Ditambah pulang langsung mengerjakan pekerjaan rumah. Sehingga kata-kata kasar tersebut keluar dari mulutku. Jelas kata itu tidak murni dari hati. Terbawa emosilah sehingga aku bisa berucap demikian.

Mas Adi. Nama suamiku. Aku memanggilnya Mas. Dia tidak mempunyai pekerjaan tetap. Dapat kerjaan jika hanya ada yang membutuhkan tenaga upah.

Biasanya, jika tidak ada yang menawarkan upahan. Ia akan pergi memancing. Namun, hari ini sepertinya ia hanya diam di rumah.

Seperti sekarang, seharian ia hanya berbaring. Tidak melakukan apa-apa. Aku maklum. Lebih tepatnya membiarkan saja. Toh, kalau pun bergerak, mau mengerjakan apa juga. Memang tidak ada yang bisa ia kerjakan.

Memasak? Tidak ada bahan untuk dimasak. Sehingga, ia hanya terbaring menahan lapar. Menungguku pulang untuk memasak beras yang tadi kubeli.

Kami bukan pengantin baru, atau masih berusia muda. Aku dan suami sudah menikah selama 35 tahun.

Kehidupan kami yang miskin dan serba kekurangan, tidak masalah menurutku, yang penting kami tetap bersama-sama seperti sekarang. Dari awal menikah sampai saat ini, kita bisa makan enak jika kita pergi keacara selamatan tetangga saja.

Hanya satu yang membuatku emosi tingkat tinggi. Yaitu, pertanyaan yang ia tanyakan tadi itu.

Sudah 5 tahun ini, ia selalu bertanya setiap hari. Bagaimana sikapku jika dia ingin beristri lagi. Walaupun ia bertanya disertai dengan candaan yang artinya ia tidak serius. Namun, walaupun demikian, aku tetap menjawab. Tidak maulah jika ia beristri lagi.

Siapa yang mau suaminya beristri lagi? Tidak ada yang mau kan.

Namun, hari ini jawabanku berbeda dari hari biasanya. Badan lelah di tambah pertanyaan yang itu-itu saja setiap harinya. Membuatku benar-benar murka. Akhirnya hari ini pertama kalinya aku membentak suami selama pernikahan kami.

Tentu saja bentakan itu bukan murni dari hatiku, itu hanya di bibir saja. Mana mungkin aku mengijinkannya menikah lagi. Mendengar pertanyaannya saja aku marah, apalagi jika ia benaran melakukannya. Oh, tidak. Kuyakin Mas Adi pun tahu itu. Jika jawabanku tadi di karenakan emosi saja.

Karna kulihat dia hanya terkekeh geli. Kemudian dengan semringah berkata.

"Alhamdulillah, akhirnya dapat ijin juga dari kamu Ma." Benarkan? Bukannya marah, akan kata-kata kasarku. Mas Adi justru senang. Malah ia mengucap syukur. Itu tandanya dia tidak menganggap ucapanku itu serius kan. Syukurlah.

"Astagfirullah, kenapa suamiku seperti ini. Aku takut dia setress ya Allah. Karna tidak kesampaian punya istri dua." Aku menanggapinya dengan bercanda juga, untuk mencairkan suasana, tentu saja agar Mas Adi tidak mengambil hati atas ucapan kasarku barusan.

Aku sebenarnya tidak takut samasekali. Jika ia akan beristri dua. Dilihat dari segi mana pun tidak memadai dan mendukung untuk ia melakukannya, apalagi keadaan ekonomi kami berdua seperti ini, itu sangat mustahil terjadi.

Tapi tetap saja, aku tidak mau jika ia benar-benar melakukan itu. Sehingga aku sedikit bersyukur atas keadaan sulit ini.

Sekarang saja, kami kelaparan, karna tidak mempunyai uang. Sehingga menunggu aku yang dapat upahan dulu, barulah kita bisa membeli  beras.

Lagi, usianya juga sudah setengah abad. Bayangkan, di usia 55 tahun. Siapa yang mau dengan orang tua sepertinya. Usia sudah setengah abad. Miskin pula.

Mendengar ucapanku. Mas Adi hanya tertawa. Melihatnya yang terlihat tertawa tanpa beban, aku merasa lega.

*

Setelah hari itu, ia tidak pernah bertanya lagi. Membuatku sedikit senang. "Tau begitu. Dari dulu akan kuiyakan saja maunya itu. Agar ia tak bertanya terus menerus." Monologku.

Aku terkekeh pelan, menyadari ucapanku sendiri. Lalu mengucap istigfar berkali-kali. Sadar ucapan tersebut sangat tidak baik.

Mas Adi ijin mau pergi. Katanya sih akan ke tempat Ida. Anak pertama kami yang sudah memiliki satu orang anak.

Memang, anak pertama kami itulah yang rumahnya yang paling dekat. Walaupun waktu yang dibutuhkan 1 jam jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Namun Mas Adi tidak pulang seperti biasanya. Karna biasanya jika kami pergi, tidak akan menginap alias PP. Pulang pergi. Ah, mungkin ia lelah jika bolak balik berjalan kaki, jadi dia menginap di rumah anaknya tersebut. Jadi, malam ini adalah malam pertama kali aku tidur tanpa dirinya.

Ternyata bukan hanya satu malam. Ini sudah malam ketiga ia tidak pulang. Membuatku dangat khawatir, takut terjadi apa-apa dengan dirinya.

Besok aku harus menyusulnya ke rumah Ida. Menanyakan kenapa ia sampai bisa tidak pulang selama itu.

Seperti niatku kemaren. Sekarang aku sudah berada di rumah anak pertama kami. Sampai rumahnya, aku langsung menyakan keberadaan Bapaknya, namun yang membuatku heran sekaligus takut. mas Adi ternyata tidak berada disana.

Lebih takut dan bercampur kaget. Ternyata selama tiga hari ini, kata Ida, Bapaknya atau Mas Adi ternyata tidak pernah datang kerumahnya untuk menginap.

Lalu kemana Mas Adi selama tiga hari ini?

MADU DIKALA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang