Bagamana bisa. Pondok yang kutinggali dan penuh kenangan bersama Mas Adi kini telah rata menjadi abu.
Untung saja, rasa panas dan sesak bernafas, membuatku terbangun dari tidur. Sehingga aku tidak ikut menjadi abu.
Keadaan rumah yang jauh dari rumah warga lainnya membuatku hanya duduk terpaku, melihat pondok yang dilahap api. Setelah keluar dari pondok tersebut, aku hanya terduduk diam. Rasanya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sekedar berteriak minta tolong saja tak bisa kulakukan.
Normalnya, jika mengalami kejadian begini. Hal pertama yang dilakukan, pasti berteriak meminta tolong. Nyatanya itu tidak kulakukan.
Aku tadi berteriak kok. Namun, bukan teriakan meminta tolong, justru aku berteriak memanggil nama suamiku.
Karna, dalam pikiranku hanya ada Mas Adi. Hingga, namanyalah yang aku panggil sekeras mungkin. Seberapa keras pun aku memanggil, namun Mas Adi tidak pernah datang.
Setelah melompat dari kelambu yang sebagian sudah tersulut api. Aku bergegas keluar. Sesampainya di luar. Yang kupanggil adalah suamiku lagi.
Berulang kali memanggil namanya. Baru tersadar, jika ia tidak ada disini. Ia telah hilang, tanpa kabar sudah tiga bulan.
Mengingat jika orang yang kupanggil tak akan datang. Seketika aku menangis pilu.
"Mas, pondok kita Mas. Pondok kita kini jadi abu. Tempat kita tinggal selama ini. Mas, kamu dimana, aku sendirian disini. Biar sudah berumur tua, tapi aku tetap penakut Mas." Sambil menikmati kobaran api yang melahap pondok. Kata-kata itulah yang bisa keluar dari mulutku.
Ingin rasanya ada Mas Adi disini. Memeluk dan menenangkanku disaat perasaan tak tentu arah seperti sekarang. Pikiranku rasanya mengambang. Entah sedih atau takut. Seperti sekarang ini. Semuanya campur aduk.
Aku terbangun saat mendengar seruan seseorang "Astagfirullah! Ngah, Angah apakah kamu tidak apa-apa?"
Seruan tersebut membuatku sadar "tentu saja aku tidak apa-apa. Akan tetapi, pondokku yang kenapa-napa." Aku menunjuk kearah pondokku yang kini aku sadari tidak ada pondok lagi disana. Sehingga jari telunjuk kuarahkan ketanah yang kini penuh dengan abu.
"Tolong nanti kalau ketemu Mas Adi, kasih tahu kalau aku hampir terbakar ya, siapa tahu jika ia mendengar kabar ini ia bergegas pulang," ucapku meminta tolong. Konyol memang permintaanku ini.
Bagaimana ia mau menyampaikan pesan ini, jika keberadaan Mas Adi saja tidak ada yang tahu.
Orang di depanku hanya diam. Tidak ada jawaban darinya. Daritadi ia sibuk memperhatikanku saja.
Aku yang diperhatikan menjadi risih. Mungkin dia sadar sehingga kini ia memalingkan wajahnya, agar tidak menatap kearahku lagi.
"Kapan kejadiannya ini Ngah?" Tanyanya kemudian. Dia adalah tetangga yang rumahnya berjarak 50 meter dari pondokku.
Jangan tanya kenapa dia tidak tahu pondokku terbakar ya. Karna selain jarak yang lumayan jauh. Hutan rimba juga menjadi sekat antara rumah kami. Pondokku juga berukuran kecil. Yang atapnya terbuat dari ilalang, sehingga dengan sekejab raib dilahap api.
"Dalam keadaan begini, Adi saja yang kamu pikirkan. Bukannya memikirkan diri sendiri!" Serunya keras.
"Kenapa kamu marah? Dia suamiku, wajar aku memikirkannya, justru jika aku tidak memikirkannya itu baru aneh!" Seruku menjawab lebih keras.
Ini, bukannya simpati karena aku baru terkena musibah. Ia justru marah-marah. Bagaimana sih.
"Siapalah yang marah Ngah?! Aku tuh gak habis pikir, bukannya memikirkan keadaan kamu yang seperti ini, kamu justru memikirkan si Adi yang tidak tahu rimbanya dimana. Pengecut dia itu!"
Mendengar perkataannya barusan, seketika aku mendelik menatapnya. Apa tadi dia bilang. Suamiku pengecut. Ucapannya mengundang amarahku naik. Cari masalah ini namanya.
"Bujang lapuk sepertimu mana tahu perasaan orang yang sudah menikah seperti apa, mending kau diam, jangan berani menyebut suamiku macam-macam lagi!" Kali ini aku benar-benar marah. Beraninya dia yang bukan siapa-siapa menyebut Mas Adi dengan kata-kata yang tidak sopan.
"Adi itu memang pengecut!" Anak-anakmu juga, gila semua mereka!" Ucapannya kali ini lebih keras.
Apa maksudnya sekarang. Bahkan, bukan hanya berani mengata-ngatai suamiku, kini anak-anakku juga.
Beraninya dia! Apa yang ia katakan sama saja menyiram bensin ke dalam kobaran api kan? Menyulut emosi sehingga aku benar-benar ingin melahapnya sekarang.
Tau apa dia ini tentang keluargaku. Hingga berani berkata tidak sopan seperti itu.
NB: cerita ini bukan tentang pelakor ya, xixi. Cerita ini real atau nyata adanya. Hanya saja, nama, tempat, dan alur aku modifikasi sedemikian rupa agar tidak menyinggung dan merugikan orang yang bersangkutan.
Terimakasih untuk kalian yang sudah berkenan membaca🙏❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU DIKALA SENJA
General FictionSesakit itu rasanya... namun, Aku tetap tersenyum ....