Part 8

118 13 0
                                        

Tidak sabar rasanya, memberondong anakku ini dengan berbagai pertanyaan yang bercongkol sedari perjalanan hingga sampai disini. Namun, aku harus bersabar. Karna sekarang dia sedang membuatkan minum.

Aku sudah menolak, tapi ia bersikeras membuatkan minum. Ah, mungkin sekarang ia lagi punya gula. Setiap aku datang ketempatnya, tidak pernah dibuatkan teh seperti sekarang. Biasanya dia selalu menyediakan air putih.

"Diminum tehnya Ma." Ida menyuguhkan teh didepanku.

"Apakah Mama tidak merepotkan, kamu buat teh segala. Nanti gula kamu cepat habis gimna?" seharusnya aku bilang terimakasih jika sudah dibuatkan minum seperti ini. Namun, rasa tidak enak itu selalu hadir. Hingga kata itulah yang aku berikan untuknya.

"Tenang Ma, stock gula aman untuk dua bulan kedepan." Ida mengatakan itu tanpa beban. Tentu saja aku kaget dan ikut senang mendengarnya.

"Alhamdulillah Nak, kalau begitu, terimakasih ya, ini tehnya Mama minum."

Setelah minum, kutatap Ida lekat. Dalam hati kembali bertanya. Mungkinkah anakku ini tega membohongiku.

Dari cara dia menyambutku tadi memang terlihat bukan seperti dia yang biasa. Namun, sebagai orang tua aku maklum. Bisa saja itu kaget karna sudah lama memang aku tidak datang ke rumahnnya. Terakhir bertemu, waktu semua anak berkumpul di pondok dulu. Saat mereka kompak menemani dan menenangkanku atas hilangnya Bapak mereka.

"Nak, ada beberapa hal yang mau Mama tanyakan pada kamu, Mama mohon kamu jangan marah saat mendengarnya ya," aku berucap begitu, karna aku kenal dengan tabiat anak pertamaku ini. Dia orangnya keras, tidak bisa mendapat tekanan dari orang lain. Jika dia merasa salah lalu ditekan, maka dia akan lebih menjadi-jadi. Maksudnya dia akan menjadi lebih marah daripada kita yang benar nantinya.

Sebagai seorang yang melahirkannya, tentu saja aku hafal dan paham bagaimana cara berbicara dengannya tanpa membuat ia tersulut emosi. Apalagi yang akan kutanyakan sangat amat memojokannya jika saja berita itu benar adanya.

Jantungku pun berdegub kencang. Ada rasa takut jika apa yang di katakan Tashar itu benar. Ada juga rasa percaya. Namun, sedikit terkikis saat melihat sikap yang ia tunjukan padaku sekarang.

Mendengar permintaanku, Ida mengernyitkan keningnya, dan menatapku bingung. Ah, mungkin dia begitu karna paham apa yang akan kutanyakan akan membuat situasi kami akan menjadi tidak nyaman.

Luar biasa kan? Anak dan Mama, kami berdua sangat memahami watak masing-masing. Dia teramat mengenal aku sebagai Mamanya seperti apa, begitu pun sebaliknya.

"Jika membuat Mama datang kesini hanya untuk bertanya sesuatu, Ida rasa itu bukan hal yang biasa kan?" Benar kan. Dia memang benar-benar bisa memahami dan begitu mengenalku. Anak seperti ini, apakah mungkin dia tega berbohong. Membohongiku pula.

Memikirkan itu tidak akan ada habisnya. Jika tidak aku pastikan saja kebenarannya. Untuk lebih jelasnya akan langsung kutanyakan saja padanya.

"Mama mendapat kabar, katanya Bapakmu tinggal di kota. Bahkan katanya disana Bapakmu sudah mempunyai istri lagi." langsung keintinya. Daripada berbelit-belit untuk menjaga perasaannya atau takut dia akan marah. Perasaan sendiri sekarang lebih berharga untuk aku selamatkan daripada perasaan orang lain. Meski itu anakku sendiri. Agar tidak menjadi penyakit hati juga. Karna terus berprasangka hal yang tidak baik.

Kulihat Ida sedikit berjengkit kaget, mendengar pertanyaanku itu. Iya, hanya sedikit. Walaupun dia langsung berubah menjadi tenang seperti sekarang, namun aku tahu.

"Iya, benar Ma. Bapak emang tinggal di kota dan beliau juga sudah beristri lagi." enteng sekali ia menjawab. Aku yang mendengarnya justru hampir terkena serangan jantung, saking terkejut akan kebenaran datang dari mulut anakku sendiri. Tenggorakanku juga tercekat begitu mendengar jawabannya.

Tadinya aku berharap, Ida akan menjawab kalau hal itu tidak benar. Tentu saja jawabannya ini sangat tidak sesuai dengan harapan dan bayangan.

"Untuk Bapak yang beristri lagi, bukannya itu atas ijin yang Mama berikan kepada Bapak?" lanjutnya lagi dengan ekspresi yang seakan ini salahku bukan salahnya.

Belum juga normal peredaran darahku saat mendengar jawabannya yang mengatakan jika Mas Adi benar tinggal di Kota. Kini seakan badanku terkena reruntuhan. Mendengar lanjutan kata-katanya.

Apalagi, mimik yang ia berikan padaku itu sangat bukan dirinya.

Apa tadi yang dia katakan. Mas Adi menikah lagi karena sudah mendapat ijin dariku.

Kepalaku berdenyut nyeri. Memutar ulang ingatanku tentang ijin tersebut. Entah karena sudah terlalu banyak mendapat kejutan. Hingga kepalaku semakin berdenyut nyeri pun, hanya tanya yang ada di sana.

Kapan? Kapan kiranya aku memberinya ijin untuk menikah lagi?

Karna aku merasa, aku tidak pernah memberikan ijin itu.

Bersambung ...

MADU DIKALA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang