part 05

120 11 5
                                    


Mendengar dia berani mengatakan hal yang tidak baik tentang suami beserta anak-anakku . Tidak membuang waktu. Aku merengsek maju. Memberi pelajaran padanya.

Sebelum itu, tak lupa aku melepas sendal jepit berwarna hitam dan permukaannya yang sudah sangat tipis.

Sampai di depannya, aku langsung mengarahkan sendal itu kemukanya. Kupukulkan sendal tersebut sambil berteriak marah "Apa kau sadar apa yang kau katakan tadi hah! Berani kau bilang anak-anakku gila. Aku yang melahirkan mereka susah payah. Siapa kamu hah! Siapa?!" Tersengal nafas kala selesai mengucapkan teriakan tersebut. Akan tetapi, tanganku masih memukuli badan tua bangka yang kini sibuk menghindari pukulanku.

Mungkin karna faktor usia. Belum juga sampai puluhan kali aku memukulinya. Tenagaku seakan terkuras habis. Umur memang tidak bisa bohong ternyata.

Aku terduduk, mengambil nafas. Karna rasanya selain capek, aku juga susah untuk bernafas.

"Sudah?" Tanyanya.

Aku yang masih sibuk menarik nafas tidak memperdulikannya.

"Apakah hidup bersama Adi kamu bahagia? Ehm maksudnya, kehidupan kalian, kan begitu-gitu saja. Bahkan Adi seingatku tidak pernah bisa memberikan hidup yang layak,untukmu" sambil duduk di depanku ia bertanya.

Aku yang sudah lumayan bertenaga kembali, tersenyum miris mendengar pernyataan tersebut.

Apa aku bahagia?

"Tentu saja aku bahagia," jawabku. Tanpa perlu berpikir panjang. Walaupun kehidupan kami jauh dari kata layak, namun jujur, aku bahagia hidup bersama suamiku.

"Yah, aku tidak maragukannya samasekali. Jika tidak, mana mungkin kamu bertahan selama itu kan?"

"Hmmm" hanya hmmm yang kuberikan. Karna memang tidak ada yang perlu dibeberkan tentang kehidupan bahagiaku bersama Mas Adi kepadanya kan?

"Bagaimana anak-anak kalian bisa seperti itu?"

"Seperti itu?" Aku mengulang pertanyaannya heran. Karna memang aku bingung, kenapa dia bisa berkata begitu tentang anak-anakku.

Kulihat ia menarik nafas kali ini. Seakan ada beban besar yang menghimpitnya.

Lama aku menunggunya menjawab. Tapi ia hanya memandangku. Pandangan yang membuat hatiku teriris. Pandangan itu aku sangat mengerti maksudnya.

Tuhan. Ada apakah sebenarnya. Apakah dia tahu sesuatu. Atau aku kah yang tidak tahu apa-apa.

Di dunia ini. Aku tidak masalah dengan pandangan orang yang meremehkan serta merendahkan. Bahkan ada yang mencibir keadaanku.

Mengatakan jika nasibku sangat sial. Berumur tua. Namun tidak ada satu pun anak yang sukses. Seperti anak-anak mereka. Yang besarnya bisa mengangkat derajat mereka sebagai orang tua.

Betapa senang dan bahagianya jika anakku pun begitu. Namun, apa mau dikata. Nasib seseorang kan sudah ditentukan. Ternyata nasib anak-anakku tidak jauh berbeda nasibnya dengan orang tua mereka, bahkan tidak jauh lagi nyaris sama sepertiku.

Sebagai orang tua, tentu saja tanpa henti aku berdoa agar kehidupan mereka lebih baik dari kedua orang tuanya. Faktor itu mungkin jika aku sebagai orang tua bisa memodali atau menyekolahkan mereka ke tingkat yang tinggi.

Disini, aku merasa sangat tidak berguna sebagai orang tua. Karna tidak bisa membekali mereka atau menyekolahkan mereka misalnya. Karna, jangankan untuk biaya sekolah. Untuk makan sehari-hari saja kadang tidak cukup. Aku sering harus menahan lapar, asal mereka-anak-anakku bisa makan.

Mau orang berkata apa tentangku, aku tidak pernah marah atau merasa rendah. Karna aku sadar. Keadaanku memang seperti itu.

Namun, pandangan yang diberikan kali ini aku sangat membencinya.

Sungguh! Aku membencinya. Membenci pandangan yang orang ini berikan.

Perlu kah mukanya kukasih stempel cap lima lagi?

Karena sudah melakukan hal yang kubenci serta membuatku pusing akan maksud kata-kata yang ia ucapkan.

MADU DIKALA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang