Mengingat kembali. Kapan kiranya aku mengijinkan Mas Adi untuk beristri lagi.
Ternyata buntu. Pikiranku sama sekali tidak bisa mengingat. Seingatku memang tidak pernah memberikan ijin.
Boro-boro memberi ijin. Setiap kali Mas Adi bertanya bagaimana sikapku jika ia beristri lagi saja aku mengamuk marah. Lalu, bagaimana mungkin aku memberinya ijin.
Teganya Mas Adi berbohong seperti itu. Tunggu dulu, aku tidak boleh percaya begitu saja kan. Sekarang aku bingung mau percaya pada siapa. Ini Mas Adi yang berbohong atau kah anak yang berada di depanku sekarang ini yang sudah berbohong.
Bisa saja kan, karna ketahuan sudah membohongiku tentang keberadaan Bapaknya. Karna ia takut akan kemarahan Mamanya ini, lalu dia menambah kebohongan lain, agar aku kembali menyalahkan diriku sendiri.
Mungkin, aku akan mengutuk diriku jika ijin itu benar-benar aku berikan. Nyatanya, aku tidak pernah memberikan ijin itu kepada Bapaknya untuk menikah lagi.
Selain rasa kaget, marah dan murka, ternyata rasa yang mendominasi adalah rasa sakit. Sakit itu kian meresak membuat dadaku kesulitan sekedar menarik nafas. Setelah mengetahui kenyataan yang begitu pahit.
Tuhan. Skenario apa ini. Mereka bukan orang lain. Mereka adalah suami beserta anak-anakku sendiri. Lalu kenapa? Kenapa mereka setega ini pada orang yang selalu memikirkan kenyamanan mereka melebihi kenyamanan diriku sendiri.
Justru mereka sekejam dan setega ini membohongiku. Bukan hanya itu, aku merasa telah dibodohi oleh mereka.
Mungkin, karena tidak mendapat jawaban dariku, Ida kembali berkata "Awalnya, aku juga tidak setuju Bapak menikah lagi Ma. Namun, Bapak bisa meyakinkan kami, katanya beliau melakukan hal tersebut karna sudah mendapatkan ijin dari Mama. Kami bisa apa jika Mama yang istri Bapak saja sudah memberikan ijin, setidaknya sekarang jangan salahkan kami, karna itu kan atas dasar ijin yang Mama berikan kepada Bapak, sehingga Bapak berani untuk menikah lagi."
Aku tersenyum pahit saat mendengar apa yang Ida katakan. Naluri seseorang yang melahirkannya memang tidak salah. Dengan kata-katanya itu, aku tahu maksudnya. Dia ingin memojokanku. Juga menegaskan jika yang salah adalah aku, bukan dirinya atau mereka, adik-adiknya.
Namun, yang tidak dia tahu adalah, kenyataan jika Mamanya ini tidak pernah memberikan ijin kepada Bapaknya untuk menikah lagi.
"Tahu apa yang membuat Mama merasa bodoh sekarang?" Bergetar bibir ini akibat menahan kuat agar tidak berteriak padanya, kulakukan karna masih menganggapnya anak. Ingin sekali bibir ini memaki dan berkata yang kasar namun dengan sekuat tenaga kutelan kembali kata-kata makian itu.
Aku bukan sosok yang bisa semudah jidat untuk berteriak dan berucap kasar jika menghadapi masalah. Umur mengingatkanku agar memghadapinya dengan kepala dingin. Aku terkekeh pelan dan pedih, baru sekarang aku mengandalkan umur.
Tidak ada jawaban darinya. Ia hanya memandangku dengan sorot yang entahlah. Aku sangat ingin mengabaikannya, namun matanya itu. Sedikit pun tidak terlihat ada rasa bersalah disana.
Saat aku kembali ingin mengatakan maksudku, namun lebih dulu tertahan karena Ida kembali membuatku menyalahkan umur.
"Yakin Mama tidak pernah memberikan ijin kepada Bapak, coba Mama ingat-ingat lagi, siapa tahu umur Mama sekarang ini sudah membuat Mama cepat lupa dengan apa yang Mama katakan."
Benarkah, aku melupakannya. Tapi aku benar-benar yakin, aku tidak pernah mengijinkan Mas Adi melakukan itu.
Lalu, ingatan itu datang dengan tiba-tiba sekali. Setelah kembali mengingatnya hatiku seakan ditusuk dengan ribuan jarum. Badanku seketika menggigil.
Dengan tangan menutup mulut, aku tergugu di depan anakku. Dia hanya menatapku puas. Bukannya simpati dengan keadaanku, ia justru merasa menang. Melihatku begini, dia merasa menang karna menganggap kata-katanya benar. Lalu akulah yang kalah serta salah.
"Benarkan, ternyata pikun mulai mendera Mama sehingga bisa melupakan hal sepenting itu, jika bukan karna ijin dari Mama Bapak tidak mungkin melakukannya, karna aku sangat mengenal Bapak itu seperti apa."
Seharusnya aku marah mendengar dia berkata kurang ajar begitu. Apalagi ini aku, Mama kandungnya. Apa yang membuat dia berubah sedemikian tega begini.
Aku tidak menanggapi apa yang Ida ucapkan barusan. Karna aku masih sibuk menangis tanpa suara. Meratapi kebodohan diri ataukah nasib yang menimpaku saat ini.
Sebenarnya tangisku ini bukan karna mengingat kesalahan yang kulakukan, untuk apa menangis atas kesalahan diri sendiri. Sedangkan aku yakin, tidak mempunyai kesalahan apa-apa pada mereka semua. Tangis ini untuk kelakuan Bapaknya yang dengan teganya berbohong serta berlaku curang padaku.
Atas kata-kata yang dulu kuucapkan itu hanya disebabkan emosi. Sehingga berkata dengan kasar, mempersilahkannya menikah lagi. Apakah itu yang Mas Adi sebut ijin dariku.
Tuhan, aku tidak sungguh-sungguh dengan ucapanku waktu itu. Walaupun bibir berkata begitu, namun hati sebenarnya menolak. Mas Adi pun tahu benar, jika itu hanya perkataan dari orang yang sedang marah.
Tidak tulus dari hatiku. Kenapa? Kenapa dia tega menjadikan alasan itu untuk mendua. Tidak cukupkah pengabdianku sebagai istrinya selama ini.
Bukan hanya beristri dengan alasan sudah mendapatkan ijin dariku. Ternyata kamu juga membohongiku tentang keberadaanmu Mas.
Jika sesuai dengan ucapanmu jika aku yang mengijinkan. Kenapa harus sembunyi-sembunyi menikah dan berbohong padaku, tentang keberadaanmu. Aku hanya bisa merintih pilu.
Anak tersayang justru tidak ada simpatinya sama sekali melihat keadaan mamanya nyaris hancur seperti sekarang. Padahal aku berada tepat di depannya.
Jika saja, ia mau memeluk. Betapa senangnya hati. Ah, mungkin rasa ini bukan urusannya. Sehingga ia hanya diam mematung, menatapku.
Tidak cukup dengan menyakitiku, kini kau seret anak-anak juga untuk mempermainkanku. Salahku apa padamu Mas?
Dari semua rintihan, hanya isak tangiskulah yang mewakili.
Selain menangis. Tak ada yang bisa kulakukan. Saking sakitnya, untuk meneruskan pembicaraan pun aku sudah tak bisa lagi. Tenaga rasanya terkuras habis.
Niatnya, ingin ikut tinggal sementara di rumah anak-anak karena pondok yang hangus terbakar. Namun, mengetahui jika mereka begitu tega membohongiku selama ini tentang keberadaan Bapak mereka.
Aku lebih rela tidur beralaskan tanah daripada tidur di rumah mereka.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
MADU DIKALA SENJA
General FictionSesakit itu rasanya... namun, Aku tetap tersenyum ....