part 06

122 13 1
                                        

Kasihan ....

Itulah pancaran yang aku lihat dari caranya memandangku. Lebih baik dicaci atau direndahkan. Itu lebih mulia daripada dikasihani.

"Apakah hidupku semengenaskan itu, sehingga kau begitu kasihan padaku," aku berucap tanpa menghilangkan rasa tersinggung. Karna ditatap sedemikian kasihan olehnya.

Bukannya menjawab. Ia justru tersenyum sendu. Ah, untuk apa aku memperhatikan serta bercengkrama dengannya disini.

Merasa ini membuang waktu, aku hendak beranjak. Untuk mengabari anak-anakku kalau Mama mereka sekarang ini tengah tertimpa musibah. Tidak cukup Mas Adi hilang. Kini, musibah itu datang kembali. Berupa pondok kecil tempatku bernaung kini sudah jadi abu.

Apa salahku selama ini. Hingga cobaan datang silih berganti. Apakah barusan  aku mengeluh? Astagfirullah, aku tidak boleh begitu. Jangan mengeluh. Itu tidak baik.

Aku sudah menggerakan kaki untuk berdiri. Namun, kata-kata yang ia ucapkan kembali membuatku terduduk.

"Anak-anak dan suamimu telah membohongimu selama ini," sambil menepuk-nepuk kakinya ia berucap seperti itu. Santai sekali dia. Tidak memikirkan perasaan orang yang mendengar kata-katanya itu seperti apa.

Aku tentu saja terkejut. Bukan terkejut karna dibohongi anak dan suami seperti ucapannya barusan. Akan tetapi, terkejut. Kenapa dia berani berkata seperti itu.

"Jangan fitnah ya!" seruku.

"Siapa yang fitnah. Menurutmu, untuk apa aku susah-susah mengatakan itu. Jika bukan kasihan padamu, aku tidak akan mengatakannya?!" kali ini suaranya lebih keras daripada sebelumnya.

"Tashar!" sekarang aku berteriak menyebut namanya. Bukan menyebut dalam artian bagus. Namun, aku berteriak, berusaha menyadarkannya, jika yang ia ucapkan sangat tidak masuk akal dan sudah keterlaluan. Juga, ucapannya itu akan menyakitiku. Seandainya yang dikatakannya itu benar. Ah, tentu saja itu tidak benar. Semoga saja ini sekedar candaannya semata.

Bagaimana mungkin, anak tega membohongi Mama kandungnya dan suami membohongi istrinya. Salahku apa pada mereka. Sehingga mereka tega melakukan itu. Walaupun hidup susah. Tidak pernah sekalipun selama ini aku merepotkan mereka-anak-anakku. Tidak ada alasan buat mereka tega melakukannya kan. 



Bisa makan atau tidak pun. Aku tidak pernah meminta makan kepada mereka, atau memberitahu mereka bagaimana susahnya keadaan kami, aku dan Mas Adi.

Bahkan aku pernah sakit meregang nyawa karena kelelahan. Namun, aku tetap melarang Mas Adi untuk memberitahukan kabar itu agar mereka tidak khawatir.

Dengan tidak punya perasaan. Tashar. Si bujang lapuk yang menjadi tetangga serta teman masa remajaku. Kini mengatakan jika mereka telah berbohong. Astaga. Lelucon macam apa ini? Mau percaya, tapi itu semua seakan tidak masuk akal. Tidak percaya, tapi yang mengatakannya adalah Tashar. Orang yang selama ini tidak pernah berbohong. Dia orang yang jujur. Karna aku juga sangat mengenalnya.

Aku masih menerka, apa kesalahanku, yang bisa membuat mereka, anak-anak serta suamiku berbohong.

 Pikiranku masih mencerna, mereka bohong padaku dalam hal apa?

Pusing memikirkan dan menerka-nerka. Namun, aku tetap tidak menemukan satu alasan apapun yang mendukung mereka melakukan kebohongan seperti dikatakan oleh Tashar.

"Kamu bilang mereka membohongiku. Bohong seperti apa yang kamu maksud?" tergesa aku bertanya, agar ia segera menjawab.

Sepertinya ia tidak paham dengan gelagatku yang tidak sabar menunggu jawaban darinya.  Karna kini ia justru terdiam. Tidak ada jawaban seperti yang kuharapkan. Sekarang, ia malah terlihat ragu dan bingung hendak menjawab apa.

"Tuh kan, kamu tidak bisa menjawab. Aku pikir kamu tetap kamu yang seperti biasa. Selalu berkata jujur. Ternyata semakin tua kamu juga bisa berubah ya?" karna tidak mendapat jawaban. Aku kembali meragukan kata-katanya. Bahkan, kini aku memandangnya remeh.

"Kamu hanya tahu, suamimu hilang kan?Dia bukan hilang. Namun, Adi ada di kota. Dia tinggal di sana dengan—"
 Ia berhenti bicara. Sepertinya ia ragu untuk melanjutkan.

Aku memandangnya penuh rasa ingin tahu. Saat aku ingin mengatakan sesuatu, ia kembali melanjutkan.

"Semua anak-anakmu tahu dimana Bapak mereka berada sekarang. Namun, mereka justru berpura-pura tidak tahu jika di depanmu?!" 

Kaget? Tentu saja. Mana mungkin aku bisa tenang saat ia dengan berani membawa anak-anakku dan mengatai mereka pula.

A—pa tadi katanya?

Selama ini anak-anakku tahu keberadaan Bapaknya?

Belum juga ritme degub jantungku tenang, ia justru kembali membuat degub itu semakin menjadi dengan kata berikutnya yang ia ucapkan.

"Bukan hanya itu, sebenarnya suamimu—"



Kata-kata yang ia ucapkan berdengung di telingaku.

Setelah mendengarnya, badanku langsung lemas. Untung saja posisiku saat ini sedang duduk, jika berdiri bisa saja aku sudah jatuh telentang saking terkejut.

Aku menggelengkan kepala secara teratur, tanda aku tidak percaya dengan apa yang dia katakan.

Tentu saja itu tidak benar kan? Karna, apa yang dikatakannya, itu sangat mustahil terjadi.
















MADU DIKALA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang