1. Gemuruh Menjelang Malam

240 28 2
                                    

kamu tidak akan pernah tahu bagaimana Tuhan merancang takdirmu dengan akurat.

-ADG-

°•°•°•°•°•°


Di sore yang kelabu sosok remaja laki-laki tengah berdiri di depan pintu rumahnya melongok ke arah luar yang ternyata rintik gerimis sedang turun membasahi tanah. Aroma petrikor khas tanah yang basah menyeruak, ia suka aroma ini, tapi sungguh demi apapun ia tidak suka hujan.

Bukannya tidak suka pada air yang turun itu, melainkan tak suka dengan suara yang tercipta dan udara dingin yang seakan menusuk hingga tulang. Sebenarnya bisa dikatakan tidak suka dengan cuaca ekstrem.

Atlas Dananjaya, semestanya tak terbaca, tertutup kabut tebal, sejuk namun menusuk. Dan kini Atlas menutup telinganya rapat-rapat, Bundanya tak akan berhenti jika ia tidak pergi juga.

Akhirnya dengan gerak cepat ia mengambil tas ransel, jaket serta kunci motornya. Bergegas pergi dari hadapan bundanya tanpa pamit, tidak bermaksud durhaka tapi- Danan akan menjelaskan nanti.

Bukan perjalanan tanpa tujuan layaknya pengembara, Atlas memang berniat untuk menginap di rumah temannya kali ini, sahabat cukup dekat sejak SMP, begitu sampai di depan rumah teman karibnya itu, ia langsung disuguhi uluran tangan, bukan jabatan tangan yang ia dapat melainkan peluk yang seolah berkata, gapapa lu kuat.

"ribut lagi sama bunda?" pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dijawab, namun Atlas tetap mengangguk.

"Masuk dulu, lu bisa cerita ke gua sepuasnya, sambil nge-game lah yuk," masuk ke dalam rumah sahabatnya, benar Atlas memang butuh tempat yang tenang dengan sedikit hiburan sepertinya tak masalah.

Malam yang kelabu terlewati, pagi yang melelahkan tiba, tentu saja Atlas tidak pulang, ia pergi ke sekolahnya, tidak bersama kawannya, sebab beda sekolah.

Turun dari motornya, rambutnya sedikit acak-acakan disebabkan helm yang dipakainya, sepertinya berdiam diri di perpustakaan pagi hari cukup menyenangkan.

Maka dengan langkah santai, derap sepatu yang beradu dengan lantai koridor sepi terdengar menuju perpustakaan, mengasah otak katanya.

Tak menghiraukan panggilan yang mengganggu, ia benar-benar butuh ketenangan. Kali ini bukan novel romansa anak remaja yang Atlas buka, melainkan buku sejarah perang dunia kedua, bukan sok kutu buku, atau anak berotak encer, tapi memang hobi Atlas, dia lebih memilih membaca buku tebal tentang sejarah, daripada menyelesaikan satu soal matematika.

Mengambil telepon genggam yang berdering dari saku seragam almamaternya, Atlas menjawab orang diseberang sana yang menelponnya.

"Assalamualaikum, Tlas. dimana lu?"

"Waalaikumsalam, di perpus. kenapa?"

"Di tunggu mau rapat pleno, bahas mpls, gercep!" telinga Atlas sedikit berdenging akibat teriakan dari temannya itu, Juna.

"Iyo, nggeh, hemm ya Allah kupingku," yang di seberang mematikan sambungan secara sepihak, Atlas menghela napas, kemudian bangkit, lantas bergegas menuju ruang rapat.

Sialnya langkahnya itu harus terhenti begitu saja ketika merasa ada yang menabraknya dengan cukup keras, dilihatnya yang tadi menabrak dadanya-deg!-"cantik" gumamnya.

"shtt! pakai acara nabrak segala," gadis itu merutuki sedikit kecerobohannya. Yang ditabrak hanya tersenyum tipis tidak kentara.

"lain kali hati-hati cantik, ini masih nabrak saya, kalau nabrak tembok gimana?" senyuman yang mampu membuat semua orang luluh bahkan seekor kucing bisa kejang-kejang kala melihatnya.

𝑺𝒆𝒎𝒆𝒔𝒕𝒂 𝑨𝒕𝒍𝒂𝒔 | only 24hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang