7. Salah Paham

64 18 0
                                    

"Kesalahpahaman yang tak diselesaikan menyebabkan kehancuran, ketika mencoba memperbaiki retakan itu tidak akan bisa pulih kembali."

-ADG-

°•°•°•°•°•°

"Tlas? Lu ngapain pakai kacamata hitam ke sekolah? Mau fashion show atau mau jadi mafia-mafiaan?" Yang ditanyai berlalu begitu saja, hari ini ia sangatlah malas untuk banyak bicara. "Idih? Kok di kacangin? Kenapa sih tu dia? Kesurupan kah?" Sandra justru semakin penasaran. Lantas di kerjarlah sahabat sejak kecilnya itu.

Atlas berbalik, dan melepas kacamata hitamnya, kemudian ia pakai kembali. Sandra mendekat, "Kenapa masuk kalau lo masih sakit? Lo kan bisa izin, pasti ada yang mau gantiin lo buat nge-handle, pasti lo belum sarapan kan? Tadi pagi mama buat nasi goreng, nih buat lo sarapan, gue makan siang gampang. Karena sepagi ini kantin belum buka, lo punya asam lambung ga boleh lo abaikan ga sarapan, Tlas."

Perempuan yang lebih pendek sepuluh centimeter dari Atlas itu menepuk bahu milik laki-laki di depannya yang sedikit merosot kemudian tersenyum kecil, "Lo bisa temui gue dan cerita kalau suasana hati lo udah membaik. Get well soon for your heart," Sandra kemudian berlalu.

Remaja yang tengah dirundung gelisah dan menatap kotak bekal itu menurunkan pandangannya, memandang ke arah kakinya sendiri, menelisik jejak sisa pagi tadi, bahkan kedua tangannya masih terasa bergetar. Setidaknya laki-laki itu masih bisa untuk tersenyum sedikit, sepatu yang ia kenakan masih sanggup menutupi lebam di kakinya.

~~~~~

"Atlas Dananjaya, Sini kamu! Jelasin ke ayah apa maksudnya ini?" Bahkan jam dinding masih menunjukkan pukul 4 pagi, namu Atlas sudah di kejutkan dari tidurnya oleh murka sang ayah, dirinya baru saja bermimpi buruk, pikirannya belum bisa mencerna, masih was-was jika ternyata teriakan sang ayah juga termasuk mimpi.

"Kamu ga dengar ayah? Masih pura-pura tidur? Oh udah berani ngelawan ayah?!" Mata yang semula terpejam itu terbuka lebar, hawa tak enak dapat ia rasakan. Ayahnya marah, apakah ada kesalahan yang dirinya lakukan?– Itu yang ia pikirkan.

"Ada apa sih pagi-pagi udah teriak?" bundanya yang ia duga ikut terbangun sebab suara lantang ayah. "Anak kamu udah pinter mengabaikan orang tua. Kamu mau jadi sok jagoan, Atlas?! Bangun kamu! Jangan pura-pura ga dengar!"

"Kenapa sih, mas? Atlas anak kamu juga ya," atlas mendengar langkah kaki kedua orang tuanya menjauh.

Blam!

Pintu kamarnya tertutup dengan keras, dirinya berusaha bangun mengumpulkan sisa-sisa perasaan tenangnya yang perlahan runtuh. Tubuh jangkungnya melangkah perlahan menuju luar kamar, kedua orang tuanya bertengkar sepagi ini karena dirinya, dan ia tak tahu-menahu sebab mengapa sang ayah terlihat begitu murka.

"Ayah, jangan marahi bunda... Ayah jelaskan ke Atlas, apa yang bikin ayah marah?" Ujarnya dengan suara yang melirih. "Ngapain kamu kerja? Kamu kurang duit? Jawab! Atau kamu ngeremehin ayah, iya?!" Atlas menggelengkan kepala, dirinya membantah tudingan dari ayahnya. "Engga sama sekali ayah, bukan maksud meremehkan ayah, tapi Atlas hanya ingin untuk di tabung," Ayahnya berdecih. "Alasan! Kamu itu emang engga tau diri sebagai anak!"

"Mas! Atlas anak kamu, bisa engga kamu jangan terlalu keras sama anak sendiri?" Ketika sang bunda ikut bersuara, Remaja tujuh belas tahun itu semakin menunduk dalam. "Karena dia anak saya, maka dari itu saya berhak menyadarkan dia dengan cara saya, paham kamu! Atlas, ikut ayah!"

Ia sudah menebak hal ini akan terjadi, sejak Atlas kecil hingga ia tumbuh menjadi seorang remaja, kerasnya sang ayah tak pernah berubah. Ketika kepala rumah tangga dalam keluarganya itu pulang dari pekerjaan yang berada di ibu kota, akan ada keributan yang Atlas dengar di sela-sela keseharian yang tenang.

"Atlas harus ke sekolah, Yah. Nanti sepulang sekolah Atlas bakal jelasin, kalaupun memang menurut Ayah Atlas salah, Ayah boleh hukum Atlas," Remaja itu menangkupkan kedua tangannya seperti memohon agar Ayahnya dapat mengerti. "Kamu dengerin saya! Kamu pikir Ayahmu ini bodoh? Nilai kamu engga lebih dari baik, engga pernah masuk tiga besar, sia-sia kamu sekolah, kalau hasilnya gitu-gitu terus tanpa peningkatan, mau jadi apa kamu?!"

Satu pukulan keras mengenai pelipisnya, nyeri menjalar, Atlas yakin lebamnya akan membekas. Atlas memang tidak terlalu mengejar nilai namun dirinya mampu mengejar setidaknya hingga peringkat sepuluh besar, itu sudah cukup menurutnya. Ayahnya masih terus memarahi dengan tudingan yang menyerempet kemana-mana, telinga Atlas sudah kebal mendengarkan hal yang sama terus di ungkit.

"Ga usah sekolah aja kamu sekalian! Buang-buang duit, bukannya pintar malah bodoh kamu sekolah! Percuma Tlas, saya biayain kamu sekolah tinggi-tinggi kalau kamu tetap bodoh! Disini kamu sampai besok, ga usah keluar!" Ayahnya keluar kamar mandi sebelumnya sempat menendang kaki anaknya yang duduk menundukkan kepala dalam-dalam. Masih dapat Atlas dengar sayup-sayup sang ibunda kembali mencoba membujuk Ayahnya yang keras.

"Mas, anakmu punya asma, kalau kamu kurung dalam kamar mandi terus kambuh gimana? Jangan keterlaluan, mas!"

"Belain aja terus, jadi manja nanti dia! Anak bisanya nyusahin aja, heran saya," matanya tidak melihat tapi telinganya mendengar. Mendengarkan pertengkaran kedua orangtuanya, yang lagi-lagi disebabkan oleh dirinya yang Atlas sendiri tidak tahu dimana letak kesalahan itu.

Tubuhnya mulai bergetar kedinginan sekaligus ingin menangis, tapi tidak bisa, laki-laki harus kuat tidak boleh cengeng. Berlalu kemudian ia mendengar pintu yang semula tertutup rapat, di buka dari luar. Bundanya datang dan memeluknya. Membawa tubuh tertatih sebab sakit pada kakinya itu untuk di kuatkan dengan usapan lembut kala lukanya di obati.

Senyuman sang bunda yang menurutnya indah bertahta pada wajah cantik wanita yang teramat ia cintai di dunia. Namun diantara beribu keindahan pada wajah bundanya, mata sembab itu tak dapat berbohong, bunda menangis sebab dirinya. Tubuhnya ingin kembali pada pelukan sang ibunda, tetapi urung ketika nyeri pada pelipis matanya kembali terasa.

"Atlas belajar yang rajin ya nak di sekolah, buat ayah sama bunda bangga punya Atlas. Sekali ini aja coba turuti kemauan ayah, Anak bunda masuk tiga besar, bunda yakin Atlas bisa," di bantu sang bunda, remaja yang kini menutupi lebam dengan kacamata hitam bersiap untuk pergi sekolah.

~~~

Atlas duduk pada pinggiran lantai koridor kelas yang menghadap langsung ke lapangan yang sepi, masih menatap kotak bekal berisi nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Kotak bekal berbentuk karakter hello kitty berwarna merah muda.

"Kak Atlas, ini buat kakak, aku tadi belinya dua, jadi buat kakak satu."

Atlas mendongakkan kepalanya, seorang siswi menyodorkan susu kotak rasa coklat kepadanya. "Terima kasih, eum... sebentar–" Atlas berjongkok, "–nah sudah, kalau ga di benerin tali sepatunya nanti kamu jatuh. Omong-omong terima kasih juga karena kamu disini, suasana hati saya sedikit membaik," perempuan di depannya hanya melongo. Atlas hanya terkekeh kemudian mengusak surai siswi yang menurutnya menggemaskan, lalu berjalan tertatih meninggalkan si pemberi susu kotak.

"Kak tunggu! Kakinya lagi sakit? Kenapa? Mau Cyra bantu ga? Nanti jadi ga susah jalannya kalau Cyra yang bantu, beneran deh," Atlas kembali tersenyum, bawel tapi gemas. "Bisa sendiri, kamu temui kak Bayu dulu, laporan kehadiran, pasti belum kan?"

"Kok tau sih? Cenayang ya?"

"Ngaco!"

. . . .

. . . .

. . . .

~tbc~

°•°•°•°•°•°

Don't forget to Vote, and Comments
Thanks~🏹

𝑺𝒆𝒎𝒆𝒔𝒕𝒂 𝑨𝒕𝒍𝒂𝒔 | only 24hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang