Setiap orang pasti mempunyai kisah dirinya dan seorang pahlawan.
Pahlawan yang datang entah darimana. Tidak pernah dikenal sebelumnya. Tidak juga diharapkan kedatangannya, tetapi secara tiba-tiba mempunyai sebuah momen atau kejadian yang membuat dirinya tahu kalau seorang pahlawan itu tidak hanya ada di film-film.
Seperti kisah berandalan yang saat ini terkapar tidak berdaya di lapangan sepi kala bulan bersinar terang di malam hari. Sunyi senyap beberapa saat setelah sebelumnya suara gaduh pertengkaran pecah di lapangan itu.
Empat orang berandalan lainnya, berkemeja kebesaran, celana jeans bolong-bolong dengan rambut gondrong yang diikat karet gelang dengan bermuka sangar berjalan mengelilingi pria yang tidak berdaya itu. Tertawa mengejek, dimulutnya terdapat sepuntung rokok menyala yang tersisa setengah.
"Bajingan! berani banget ya?" Salah satu dari berandal itu berbicara.
Yang lainnya menyiapkan bogemnya, ada juga yang memegang sebuah balok kayu. Sesaat setelahnya mulai kembali menghujani pria yang sudah tidak berdaya itu dengan pukulan-pukulan yang membuat memar di sekujur tubuhnya. Berisik pertengkaran kembali terdengar.
Si pria terbatuk-batuk, darah mengalir dari mulut dan hidungnya, pipinya robek, begitu juga dengan dahinya. Kepalanya terasa sangat berat, seluruh badannya terasa linu karena memar-memar. Rasanya seperti malaikat kematian sudah berdiri tepat didepannya.
Namun, bukan malaikat kematian yang ada di depannya. Di jarak 10 meter dari sana, seorang gadis menyaksikan kejadian itu sudah selama 10 menit lamanya.
"Lo ga akan jera, Ger." Si pria berbicara dengan sisa-sisa tenaganya.
Berandalan yang disebut namanya tersenyum miring. Hampir menendang perut pria itu, tetapi terhalang oleh kedatangan seorang gadis berseragam SMA yang melempar para berandalan itu dengan sebuah batu sebesar genggaman tangan pria dewasa.
Tepat sasaran.
Sontak salah satu dari berandal itu terkapar tidak sadarkan diri kala batu itu mengenai kepalanya yang memang sudah terluka dari tadi. Ia terbaring ditanah yang sama dengan si pria. Berandal lain yang melihat temannya terkapar mulai tersulut emosi. Satu tangannya membuang rokok yang ada di mulutnya dengan kasar, sedang tangannya yang satu lagi mengambil balok-balok kayu guna membalas perlakuan gadis itu.
"Cewek kurang ajar!" Pria yang disebut Ger tadi berteriak marah. Berlari mendekati gadis itu. Lalu tanpa pandang gender, ia dan teman-temannya mulai mengeroyok si gadis.
Pria dengan luka memar itu berusaha duduk dengan sisa tenaganya. Pria itu meringis kesakitan, luka-lukanya semakin sakit saja setiap saat, matanya menatap lurus kejadian di depannya. Menyaksikan para berandal itu mengeroyok seorang gadis. Tiga lawan satu.
"Cewek gila." Gumam si pria. Tanpa dia tahu kalau gadis itu dapat menang dengan mudah. Melawan tiga berandal dengan kemampuan bertengkar asal-asalan bukan hal yang sulit baginya.
Pria itu menunjukkan ekspresi kagumnya saat ia melihat dalam waktu yang cukup singkat, gadis itu mampu melumpuhkan 3 orang itu. Mereka lari terbirit-birit pergi dari lokasi dengan luka lebam di tubuhnya. Meringis kesakitan.
Si gadis menatap pria itu, berjalan menghampirinya guna melihat keadaan pria itu dengan lebih dekat. Ia menatap orang yang punya luka lebam hampir di seluruh permukaan wajahnya itu dengan muka datar, tetapi tersirat rasa prihatin di dalamnya, dia membuka tas ransel berwarna abu-abu yang ia tenteng. Tasnya cukup berat karena ada laptop di dalamnya. Entah sekarang laptop itu masih berfungsi atau tidak karena tadi dipakai untuk memukul kepala tiga berandalan yang mengeroyoknya.
"Bersihin pakai ini," si gadis melempar sebungkus tisu dan botol air minumnya pada pria itu. "Gak punya obat luka." Ucapnya lagi.
Pria itu mengerjap takjub, hanya tubuh gadis itu saja yang terlihat kecil, tetapi sebenarnya ia punya energi yang sangat besar.
Gadis itu berbalik badan, berjalan pelan sambil melenguh ketika melihat kondisi laptopnya yang rusak parah. Dia pergi dari sana, meninggalkan pria itu, juga botol air minum satu-satunya yang dia miliki.
Kejadian itu sudah seminggu berlalu.
Sebelumnya pria itu hanya ingat wajah gadis pemberani itu. Namun, kini ia tahu nama gadis itu karena kembali bertemu dengannya. Tanpa disengaja, ditempat yang sama pula. Namun, tidak dalam kondisi yang sama seperti seminggu lalu.
Siang itu, si gadis terlihat pulang dari sekolah. Masih memakai seragam dan tas abu-abunya. Tetapi, kini isinya lebih ringan karena tidak ada laptop di dalamnya.
Mata mereka beradu dalam jarak 5 meter. Selang 5 detik hingga si gadis membuka mulutnya, "gue ga bisa bantu lagi."
Si pria tersenyum, beranjak dari posisi duduknya. Berjalan perlahan memotong jarak 5 meter itu dalam waktu 10 detik. Tiba dihadapan si gadis, pria itu menyodorkan beberapa lembar uang. "Biaya perbaikan laptop." Katanya.
Si gadis menatap uang itu sekilas lalu menatap wajah pria itu sambil tersenyum singkat, "ga butuh, simpan aja." Balas si gadis dengan nada yang tidak ramah. Kembali berjalan, segera meninggalkan tempat itu.
"Suatu saat kalau lo butuh bantuan, datang aja ke gue." Ujar si pria.
Si gadis sebenarnya mendengar itu. Namun, ia tidak berhenti sebentar pun. Tertawa tidak bersuara. Mengucap satu kalimat pendek disela-sela tawanya, "Kalau masih hidup."
— 2, Feb 2021