Berbincang dengan Langit

19 0 0
                                    

Aku membayangkan sekitar.
Melihat dunia luar.

Aku melihat dua orang saling mengenal, besok lusanya mereka bertemu.
Aku tersenyum.

Aku merasakan orang dalam masalah.
Aku berusaha membantunya.

Aku memperhatikan dua orang yang saling berdebat.
Aku diam.
Masalah mereka selesai.

Aku melihat orang itu berpikir dan kemudian dia berubah.

Aku tersenyum. Kisah itu selesai. Dan Langit pun berhasil menyelesaikan tugasnya.

*****

Namaku Khansa, seorang mahasiswi yang biasa menghabiskan malam minggunya untuk pergi ke kafe. Angin malam yang dingin menyapu lembut permukaan kulitku ketika aku berjalan menyusuri jalan setapak yang remang.

Perjalanan dari rumahku sampai ke kafe membutuhkan waktu 10 menit, tetapi aku lebih memilih berjalan kaki untuk sampai kesana. Untuk menghemat bensin juga untuk mengurangi polusi udara. Aku sudah sampai di kafe lima menit yang lalu, duduk di pojok kafe persis di dekat jendela. Ini kafe langgananku, pemiliknya sudah cukup berumur sehingga kafe ini memiliki desain yang sederhana bergaya vintage, kafe ini bahkan masih menggunakan lonceng di pintu masuknya. 

Aku menyalakan laptop yang kubawa, lalu menyeruput vanilla latte pesananku yang baru sampai. Kemudian puluhan menit ke depan aku mulai luruh dalam kesibukanku mengerjakan tugas. Memanfaatkan wi-fi gratis yang difasilitasi kafe.

Bel kafe berdenting ketika ada pelanggan baru memasuki kafe. Pandanganku teralihkan pada orang itu. Kulihat dia mengedarkan pandangannya seperti mencari tempat kosong. Netra mataku turut bergulir, memproyeksikan seluruh penjuru kafe yang malam ini sedang ramai sekali.

Terdengar suara kursi ditarik, aku menoleh, ternyata kursi di depanku yang ditarik oleh cowok itu—pelanggan baru kafe. Astaga! Aku mencari tempat kosong diseluruh penjuru kafe dan justru baru sadar kalau satu-satunya tempat kosong itu ada di depanku.

"Aku boleh duduk di sini?" tanya cowok itu.

Aku mendongak menatapnya, kejutan baru lagi saat aku melihat wajahnya dari jarak dekat. Aku merasa familier dengan wajah itu.  Dan rasanya dia juga merasakan hal yang sama dilihat dari senyum tipisnya dengan mimik wajah menebak-nebak.

"Maaf, aku rasa kita pernah bertemu, ya?" tanyanya tidak lama setelah itu.

Aku berdeham untuk menutupi rasa gugup, "Iya ... mungkin. Nama kamu siapa?"

"Reesh." Cowok itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku. Senyumnya belum pudar, malah bertambah lebar.

Aku membalasnya ramah dengan senyuman yang aku buat sehangat mungkin, "Aku Khansa."

Reesh tersenyum kecil, benar seperti apa yang aku duga, dia adalah cowok itu. Teman seangkatanku di sekolah, sekaligus cowok yang aku sukai. Aku sudah lama tidak melihatnya dan sekarang dia duduk di depanku.

Udara kafe yang dingin ditambah suasana yang canggung membuat perasaaan tidak nyaman langsung menjalar dengan cepat keseluruh tubuhku. Aku mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaanku di laptop. Tapi tidak bisa. Aku membuang napas pelan, melihat ke arah lain dan mencuri pandang, melirik cowok itu lewat ekor mata. Dia sibuk dengan ponsel di tangannya, minuman yang dia pesan juga belum disentuh sejak tadi. Lirikan ku padanya tidak lebih dari 10 detik karena setelahnya cowok itu yang menatapku dengan tatapan bertanya.

"Kenapa natap aku?" tanyanya seraya terkekeh. Aku sedikit terkejut karena aku tertangkap basah sedang menatapnya.

"Ah, nggak." Kataku kikuk seraya tertawa kecil.

Extra MileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang