Episode 12

1.1K 140 134
                                    

🍁

  Lelehan air mata sebening kristal itu meluncur menyusuri pipi dan jatuh di atas punggung tangan yang tergenggam pada pangkuan, isyarat sebuah kepedihan yang menyayat hati dalam sebuah cerminan penyesalan. Malam yang panjang hanya berisikan tentang tangisan seorang permaisuri yang kini tengah meratapi kebodohannya, ia menyadari jika raganya kini tak sendiri, sebuah benih kehidupan lain telah tertanam sempurna dalam lindungan rahimnya dan itu adalah sebuah beban berat saat kehadirannya tak selaras oleh waktu.

Dengan langkah perlahan Hinata menghampiri sang permaisuri yang menatap langit gelap di balkon kamar, ia menutupi punggung Mikasa dengan selimut tebal saat Mikasa hanya memakai gaun malam tipis di dalam udara yang dingin. Memilih berlutut dihadapan Mikasa, kini Hinata bisa melihat wajah buruk Mikasa yang tengah berderai air mata. Berusaha menguatkan hati pada sosok wanita yang ia kagumi membuat Hinata berani meraih tangan Mikasa dan menggenggamnya.

"Kau bisa menceritakan semuanya padaku." Ucap Hinata tanpa ada kata formal, berharap bisa membuat Mikasa merasa nyaman. Untuk kali ini Hinata akan berperan sebagai sahabat Mikasa, bukan pelayan di istana ini.

Terjeda dalam waktu yang lama, Hinata begitu sabar menunggu bibir manis Mikasa untuk bergerak menyahutinya.

"Aku hamil." Dua kata yang cukup mengejutkan, bahkan raut wajah Hinata berubah berbinar saat mendengarnya, lantas apa yang salah dengan kabar gembira tersebut hingga membuat Mikasa terlihat begitu tertekan.

"Itu adalah kabar yang menggembirakan, aku pikir Yang Mulia Raja akan senang mendengarnya." Hinata terlampau semangat hingga ia berdiri dari posisinya yang semula berlutut.

"Tidak Hinata. Tidak!" Mikasa menahan tangan Hinata saat gadis itu hendak beranjak.

"Jangan biarkan seorangpun mengetahuinya." Mendengar hal itu membuat Hinata semakin dibuat heran.

"Menga..." Belum sempat Hinata menyelesaikan pertanyaan ia langsung terbungkam saat Mikasa memotong ucapannya dengan sebuah kenyataan yang pahit.

"Bagaimana Claude bisa merasa senang dengan kehamilanku disaat ia tak pernah menyentuhku?"

.
.
.
.
.

*
.
.
.
.
.

  Hari yang cerah saat Claude keluar dari istana, bahkan awan sirus tipis dan sinar hangat matahari seakan menyambut dirinya yang kini diliputi sebuah kebahagiaan kecil dikala netranya melihat orang-orang terkasih tengah bercengkerama dengan riang.

"Kau terlihat cantik sekali." Puji Mikasa saat Athi berputar memperlihatkan sosoknya bak malaikat kecil dengan gaun putri yang begitu indah.

"Ini pertama kalinya Athi pergi bersama ayah dan ibu, Athi harus secantik mungkin." Ucapan polos Athi membuat Mikasa terkekeh.

Mikasa menoleh ke arah Claude yang memasuki kereta dan memilih duduk berhadapan dengannya, sedang Athi memposisikan diri disamping Mikasa. Di luar kereta Hinata tersenyum saat melihat Athi yang menempel pada Mikasa, namun senyuman Hinata perlahan terkikis saat matanya bersirobok dengan mata sendu Mikasa, tangan Hinata terkepal di balik punggung saat ia kembali merasakan sebuah kekecewaan yang ia pendam. Bahkan kini Hinata merasa ia tak jauh berbeda dengan Mikasa yang hanya memberikan topeng kepalsuan dalam senyuman manis untuk menyamarkan kenyataan.

Between the King and his MaidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang