"Sendiri
Kondisi dimana rasanya sangat sepi,
namun terkadang menjadi hal ternyaman ketika hati nyeri, di saat bayanganmu enggan untuk menghampiri."-Shankara..
.
.
.
***Seusai membanting pintu kuat-kuat, kini berganti pada tubuhnya yang ia banting ke Queen Size baru miliknya.
Pandangannya lurus menatap ke arah langit-langit kamar. Membayangkan kilas balik kejadian saat di sekolah tadi. Seolah-olah atap kamar itu mampu menjadi layar besar yang menampilkan dirinya.
Anak baru macam apa yang meninggalkan kelas begitu saja? Bahkan di saat dirinya belum selesai memperkenalkan diri. Siapapun yakin jika ia akan di keluarkan langsung dari sekolah itu. Namun sepertinya beda lagi ceritanya jika orang itu adalah Shankara---ralat Rakara.
Terserah!
Shankara tidak peduli kalau seandainya ia di keluarkan langsung. Toh, lagi pula masih banyak sekolah yang tidak akan menolaknya.
Sebelum memejamkan matanya, ia meraba-raba kasur, mencari benda pipih yang terus berdering sejak tadi. Tanpa peduli siapa yang menelponnya, ia langsung melempar ponselnya begitu saja ke arah tembok. Dapat di pastikan jika itu langsung retak.
"Huufft..." napas berat yang ia keluarkan setidaknya mampu meringankan sedikit beban yang bertumpuk di dadanya.
Hening. Hanya ada ia sendiri di kamar apartemennya sekarang.
Betul sekali! Kini ia tinggal di apartemennya sendiri. Jira, Reyhan, dan Gerald jelas sangat menentangnya, namun Shankara memaksa. Bagaimana pun ia harus lebih waspada pada Dave. Kakeknya itu bukan orang bodoh, bahkan bisa dikatakan kelewat pintar. Segala kemungkinan bisa ia lakukan dengan mudahnya. Maka dari itu ia harus lebih extra hati-hati.
Shankara tidak menyangka jika akan seperti ini. Ia pikir setelah ia keluar dari zona itu ia akan merasa aman di zona lain. Namun kenyataannya salah, apakah kini ia tengah berada di zona bahaya lainnya? Apapun jawabannya Shankara tidak ingin jika harus kembali ke sana. Tidak akan!
Matanya terpejam, namun pikirannya tak turut ikut untuk terjeda.
Mengapa hidup yang ia jalani selalu terasa berat? Bahkan ia rasa ini bukan drama korea dengan konflik di luar logika. Namun mengapa tuhan memberikan alur selebay ini untuk hidupnya? Jika ia tak pandai membuat skenario setidaknya biarkan Shankara yang menentukannya sendiri. Jika memang tidak bisa, mengapa ia susah payah untuk membuat konflik seperti ini? Seharusnya ia biarkan saja hidupnya lurus di sertai happy ending. Itu akan terlihat sangat-sangat jauh lebih baik dari ini.
Hidup dengan rasa bersalah itu berat. Ibaratkan di hampiri malaikat maut yang menagih nyawa setiap hari. Hari ini bisa lolos, esoknya datang kembali. Sungguh meresahkan!
Andai ia bisa membuat permohonan di setiap hari ulang tahunnya, mungkin ada satu permintaan yang akan ia tujukan pada tuhan. Shankara ingin tuhan menghadirkan seorang goblin dalam hidupnya, seperti layaknya Ji Eun-tak.
Di saat semua orang menjauhinya, ada goblin yang selalu ada di sisinya. Di saat takdir tidak adil padanya, ada goblin yang tetap bersamanya. Bahkan di saat malaikat maut yang gencar mencarinya, selalu ada goblin yang mampu melindunginya.
Ahh! Berpikir apa ia ini?
Ia menampar pipinya secara bergantian, membuatnya tersadar dari imajinasi yang ia ciptakan dan kembali pada kenyataan bahwa ia hanya sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMENSIONS
Random||2021|| [On going] Apa yang terjadi jika gelap pekat itu mulai terurai oleh bias cahaya? Saat pekat lekat yang mencekat itu mulai pudar oleh sorot damai yang menenangkan? Sebuah terang mengubah hidupnya perlahan lewat takdir tuhan. Entah. Shankara...