15|| Hujan dan malam

16 5 0
                                    

Fyi, chapter ini panjang sepanjang jalan kenangan.
Alangkah baiknya untuk vomment dulu wk100×
Happy reading!









"Pa, kucingnya kasian..." Ia terus mengusap anak kucing di gendongannya itu. Shankara merasa kasihan melihatnya. Entah bagaimana bisa anak kucing itu terluka seperti ini. Ia yakin luka di kakinya itu bekas di sabit orang.

"Nanti kita obatin ya sayang di rumah baru Papa." Dito mengusap rambut putrinya itu dengan senyumnya yang mengembang.

"Masih jauh banget, Pa?" Shankara sudah jalan sejauh ini, namun belum juga lekas sampai. Kakinya mulai terasa pegal, namun dari alamat yang di berikan Gerald, ia memang harus berjalan untuk sampai di rumah baru ayah mereka. Kalau akhirnya seperti ini, jujur saja Shankara menyesal telah menurunkan taksi di gang. Salahkan mereka berdua yang sepanjang jalan asik bicara!

"Nggak sayang, ini udah sampai." Ucap Dito, lagi-lagi dengan senyumnya. Bagaimana bisa Shankara tidak jatuh cinta pada Ayahnya yang semenawan ini? Ditora Gavriel memanglah cinta pertamanya, lelaki yang kini sudah terduduk di sampingnya.

"Pa, kayanya kucingnya nyaman deh di almamater Kara. Tuh liat deh, dia tidur." Dito mencubit pipi Shankara yang terlihat menggemaskan. Tak terasa putri kecilnya kini sudah berubah menjadi gadis cantik yang luar biasa.

"Berarti dia nyaman sama kamu sayang."

"Kalo papa nyaman nggak sama Kara?"

Dito tersenyum, memandang wajah putrinya dengan pandangan yang tak bisa Shankara artikan.

"Dari semua tempat ternyaman yang pernah papa kunjungi, rasanya kalah karena yang papa rindukan selalu kamu. Bagi papa kamu lebih dari sekedar kata nyaman. Your is my everything, Shankaraku."

"Kalo gitu jangan tinggalin Kara lagi, Pa."

Dito mengangguk cepat, "nggak akan sayang, papa di sini, selalu di sini. Yang kuat ya sayang."

"Kara kuat, Pa! Kara udah sabuk hitam taekwondo dong! Kara juga punya banyak piala di rumah Kara. Kapan papa ke rumah Kara? Kara mau pamerin piagam-piagam Kara, piala, medali, uang, mobil, rumah, banyak deh pokoknya. Kara sekarang kaya dong, Pa! Papa bangga nggak punya anak kaya Kara?"

Tak terasa air mata berhasil lolos dari kelopak mata Dito. Ia mengusap wajah putrinya, menatapnya dengan sendu. Seolah mengundang pertanyaan Shankara dalam hatinya.

"Papa nangis? Kenapa? Papa sedih punya anak kaya Kara?"

"Papa bangga, nak. Kamu hebat! Maafin papa Shankara... maafin papa..." hati Shankara terenyuh mendengar isak pilu dari Dito. Meskipun ia tak mengerti apa sebab Dito malah sesedih ini, tapi air matanya ikut mengalir.

"Buat apa, Pa?"

"Maafin papa, nak... maafin karena kamu yang harus nanggu semuanya... maafin papa Shankara... m-maaf karena papa nggak biaa ngelindungin kamu... maaf... papa minta maaf karena jadi ayah yang nggak becus buat kamu... maafin papa Shankara..."

Shankara geming di tempatnya. Telinganya mendengung dan tatapannya mulai kosong. Tatapannya kosong. Dan sekali lagi pandangannya kosong. Tidak ada siapapun di hadapannya. Tidak ada satu orang pun di sampingnya. Ia sendiri.

Dan pada kenyataannya sedari tadi ia memang sendiri. Ini pernyataan paling menyakitkan bagi dirinya. Bahwa Shankara hanyalah anak sebatang kara. Papanya sudah meninggal, dan bodohnya ia lupa dengan kenyataan itu.

Tubuhnya merosot di batu nisan milik sang papa. Dunianya luruh saat itu juga. Anak kucing di pangkuannya entah sejak kapan sudah berpindah tempat di sampingnya. Tak ada yang ia pikirkan, yang baru ia sadari adalah...

DIMENSIONSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang