EPIPHANY - 8. Reveal

68 10 6
                                    

Musim panas sebentar lagi akan berakhir, waktu Jihoon untuk berada di sini juga sudah tidak lama lagi. Ia harus kembali ke korea, melanjutkan kewajibannya di sana. Namun, kewajiban Jihoon di sini belum sepenuhnya selesai.

Jihoon belum memberi tahu Arin perihal formulir registrasi pernikahan mereka. Jihoon hanya punya waktu lima hari sampai jadwal keberangkatannya ke korea nanti. Laki-laki itu tengah duduk seorang diri di meja makan, memutar-mutar ponselnya, menimang waktu yang tepat untuk membicarakan masalah ini dengan Arin. Masalahnya, sejak mereka pulang dari Karlovy Vary beberapa hari lalu, baik Jihoon dan Arin belum berbicara sepatah kata pun. Entahlah, rasanya Jihoon masih kesal dengan apa yang terjadi di Karlovy Vary waktu itu.

Di tengah kemelut pikirannya yang tak berujung, tiba-tiba Jihoon dikagetkan dengan Arin yang membuka pintu kamarnya dengan buru-buru, sambil menahan ponselnya dengan bahu karena tangannya tengah sibuk mengenakan blazer nya.

"Jihoon, aku keluar sebentar ya?"

Tanpa menunggu jawaban dari Jihoon, gadis itu melangkah dengan buru-buru meninggalkan apartemen.

"Kau di mana?"

"Aku ke sana."

"Hmm, 5 minutes and I'll be there, Win."

Nama terakhir yang disebut Arin dalam percakapannya itu sontak membuat Jihoon mengangkat kepalanya. Arin hendak menemui Metawin, itu yang Jihoon tahu.

"Metawin, kau di mana? Aku sudah di depan apartemen?" ucap Arin, sesampainya gadis itu di depan apartemen, tapi tidak menemukan apapun selain mobil-mobil milik penghuni apartemen yang terparkir rapi di tepian jalan Maltezka.

"di belakangmu."

Arin sontak memutar tubuhnya menghadap timbre familiar yang terdengar baik melalu gawai yang masih menempel di telinganya, maupun yang ia dengar secara langsung.

"Kau mengagetkanku," protes gadis itu sambil mematikan panggilannya dan memasukkan benda itu ke dalam saku blazer nya.

"Sorry."

"Kau bilang ingin berbicara sesuatu?" tanya Arin tanpa basa-basi, "Kenapa tidak lewat telepon saja? Jadi, kau tidak perlu jauh-jauh dari Old town ke sini."

"Aku pikir akan lebih baik mengatakannya secara langsung," tutur Metawin, sambil menatap tepat di kedua manik gadis pujaan itu. Oh, bolehkah Metawin menyebutnya seperti itu? Metawin kira perlakuannya sudah sangat jelas, tapi sepertinya gadis di depannya ini tidak menangkap gelagatnya. "Mau jalan-jalan sebentar?" tawarnya.

Dan, disinilah mereka sekarang. Menyusuri jalanan di sekitar apartemen Arin, langkah demi langkah mereka lewati tanpa ada yang bersuara, hanya suara langkah kaki mereka dan beberapa pejalan kaki yang mereka temui.

"Kau dan Jihoon baik-baik saja kan?" tanya Metawin tiba-tiba, membuat gadis yang berjalan di sebelahnya itu mendongak menatap laki-laki itu heran.

"Aku dan Jihoon?" Arin tampak berpikir sebentar, sebelum menggangguk, "Hmm, kami baik-baik saja. Kenapa?"

"Ku pikir aku membuat Jihoon kesal," ujar Metawin. "Aku takut dia melampiaskannya padamu."

Arin terkekeh, "Kenapa dia harus kesal? Karena cemburu?" senyum gadis itu tampak sedikit miris. "Dia tidak mungkin seperti itu,"

"Kau tahu, semua orang berubah Rin."

Arin mengangguk, "Aku tahu," ada jeda sebelum gadis itu melanjutkan, sembari memandang lurus ke depan. "Dia juga berubah."

Hening lagi. Tidak seperti biasanya ketika topik pembicaraan dapat mengalir seperti air, karena Metawin adalah ahlinya tentang hal itu. Laki-laki itu selalu piawai menghidupkan suasana, membawa sebuah pembicaraan kedalam topik-topik yang beragam. Namun, malam ini Metawin seolah dibungkam oleh pikiran-pikiran yang yang bergelayut di dalam sana.

EPIPHANY - Park Jihoon/Choi Arin/Win MetawinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang