EPIPHANY - 3. Park Jihoon

80 9 0
                                    

"Kau akan benar-benar pergi?" tanya suara di seberang sana. Meyakinkan seseorang yang tengah berbicara padanya saat ini.

Sedangkan seseorang itu, sambil membenahi letak ponselnya yang ia tahan dengan bahu, ia memasukkan beberapa setel pakaian yang baru ia ambil dari lemari ke dalam sebuah koper cukup besar yang ia letakkan di atas kasur. "Hm. Aku akan pergi besok."

"Kau sudah menghubunginya?" tanya suara di seberang sana lagi.

"Aku menghubunginya sepulang aku menemuimu waktu itu."

"Lalu?"

"Dia mematikan panggilannya."

"Jadi kau sama sekali tidak memberitahu kedatangan mu?"

"Aku menghubungi ayah ibunya."

"Mereka memberimu izin menemuinya?"

"Hmm. Mereka pikir, itu lebih baik jika memang aku berinisiatif menemuinya," ucap orang itu. "Bae Jinyoung, kau mau membantuku kan?"

Jinyoung yang saat ini tengah berada di Praha, menghubungi Jihoon saat ia dengar laki-laki itu akan pergi ke Praha, menemui Arin. Tentu Jinyoung terkejut, ia bahkan berpikir apa sahabatnya itu sudah berubah? Atau ia sudah menyadari perasaannya? "Tentu, Hyung. Aku akan selalu membantumu. Hubungi saja aku setelah kau mendarat di Praha." ujar Jinyoung.

Jihoon mengakhiri panggilannya, melempar ponselnya ke atas ranjang dan kembali memasukkan beberapa perlengkapan yang akan ia butuhkan selama di Praha sana.

Suara pintu terbuka mengalihkan Jihoon dari kegiatannya. "Sudah selesai berkemas, Nak?" tanya Nyonya Park. Wanita itu kemudian duduk di tepi ranjang Jihoon, memperhatikan anak laki-lakinya yang tengah mengemasi beberapa barang ke kopernya.

"Sebentar lagi, Bu. Kenapa Ibu belum tidur?"

"Ibu ingin bicara sebentar."

Jihoon segera menutup kopernya setelah ia rasa cukup, menyingkirkannya dari atas kasur dan meletakkannya di ujung ruangan. Jihoon segera menghampiri Ibunya, dan duduk di samping wanita itu. "Ingin bicara apa, Bu?"

"Jihoon," Nyonya Park memberi jeda. "Ibu tau kau sudah dewasa, tapi ibu pikir ibu perlu mengatakannya padamu," Nyonya Park meraih tangan putranya, menggegamnya dengan penuh kelembutan, menyalurkan setiap kehangatan dari usapan-usapan kecil yang diberikan Nyonya Park. "Ibu harap, kau benar-benar memperbaiki hubunganmu dan Arin. Mungkin memang sudah terlambat, semua sudah tidak lagi sama, tapi ibu benar-benar berharap kau bisa memperbaikinya." Ujar Nyonya Park. "Ibu tidak tahu bagaimana perasaanmu saat ini selain rasa bersalahmu, entah kau hanya merasa bersalah atau rasa itu sudah benar-benar ada. Jika nanti semua sudah kembali ke awal, ibu harap kau benar-benar menggenggamnya. Jangan pernah lagi menjatuhkannya untuk yang kedua kali karena jika kau melakukannya, kau tidak bisa membawanya kembali. Pertahankan apa yang ingin kau pertahankan."

Nyonya Park melepas genggaman tangannya, wanita itu mengambil sebuah amplop coklat yang entah sejak kapan ia letakkan di atas nakas di samping tempat tidur Jihoon. Wanita itu memberikan amplop itu.

"Apa ini, bu?" tanya Jihoon, heran, sambil menerima amplop coklat itu.

"Surat pendaftaran pernikahanmu dan Arin."

Jihoon menatap Ibunya tak percaya. Laki-laki itu membuka amplop itu dan menarik keluar isinya. Benar saja, isinya adalah surat pendaftaran pernikahan yang harus Arin dan Jihoon tanda tangani.

"Kalian menikah di usia yang masih sangat muda. Itulah kenapa pernikahan kalian belum terdaftar," ucap Nyonya Park. "Keputusan ada di tangan kalian, akan seperti apa hubungan kalian itu urusan kalian karena kalian yang akan menjalani." Nyonya Park menggegam tangan putranya lagi. "Maafkan ayah dan ibu karena membuatmu menikah di usia yang sangat muda. Karena keegoisan kami, kalian mengalami hal seperti ini."

EPIPHANY - Park Jihoon/Choi Arin/Win MetawinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang