Aku duduk di sofa sendirian. Sofa yang berada di rumah mertuaku. Aku harus menyapa mertuaku terlebih dahulu. Aku menunggu mereka pulang dari mengajar. Suara adzan Dhuhur terdengar lantang di mesjid pesantren.
Kenapa aku duduk sendirian? Karena Suamiku lagi ke rumahnya dengan mbak Anisa. Rumah suamiku berada di selatan rumah mertuaku. Sudah lima belas menit berlalu dan mereka belum datang menemuiku. Mungkin mereka lagi membunuh rindu yang selama tiga hari tidak bertemu.
Aku melihat ke sekeliling ruangan. Dimana ada kaligrafi surat Yaa-sin dan beberapa foto kiyai sepuh. Kakek suamiku.
"Assalamu'alaikum."
Aku menoleh ke arah pintu dan membalas salamnya aku berdiri ketika yang aku tahu yang mengucapkan salam adalah Ning Shofi.
Dia berhenti berjalan ketika dia melihatku. Dia berdiri dengan sebuah kitab Nahwu yang pernah aku pelajari waktu mondok. Dia memandangiku dengan tanpa senyuman.
Ok, dari penilaianku dia kurang menyukaiku.
"Halo Ning Shofi." Kataku mencoba untuk bersikap ramah terlebih dahulu. Mungkin dia tipe orang yang tidak bisa menyapa orang terlebih dahulu.
Dia hanya menundukan sedikit kepalanya dengan tersenyum. "Saya ke kamar dulu." Ucapnya berlalu pergi. Aku membalasnya dengan masih tersenyum dengan ramah.
Panggilan salam terdengar lagi dengan dua orang yang terdengar berbeda dari suaranya. Salah satunya adalah ibu mertuaku dan Ning Naura. Senyum mereka langsung berbinar ketika melihatku.
Aku menghampirinya dan menyalami tangan ibu mertuaku.
"Aunty Nadia." Pekik Ning Naura senang. Dia meniru Zahwa karena Zahwa memanggilku aunty."Eh, kok Aunty udah ubah yaa. Jadi mbak Nadia." Ucapnya dengan suara renyahnya.
"Ayo masuk Nadia." Ucap ibu mertuaku. Zahwa menggandeng tanganku untuk masuk ke ruang tamu dengan riang.
"Sudah lama datangnya nak." Tanya beliau dengan suara lembutnya.
"Sudah lima belas menit yang lalu ibu nyai." Kataku dengan suara yang di lembut-lembutkan.
Ibu mertuaku dan Naura memandangku aneh. Apa ada yang salah yaa dari ucapanku. "Panggil ummi." Ucap ibu mertuaku tegas.
"Tau mbak Nadia. Naura ajah udah gak manggil mbak Aunty lagi. Jadi sekarang umminya Naura juga umminya mbak Nadia." Gadis ini mirip sekali dengan Zahwa. Mungkin itu sebabnya mereka bersahabtan dari sekarang. Sebenarnya Naura mau di mondokkan tapi dia menolak karena tidak mau berpisah dengan Zahwa.
Apa bagusnya keponakanku itu. Kalau pulang cuman di dalam kamar saja tidak keluaran. Mendekam di dalam kamarnya.
Ibu mertuaku pergi entah kemana. Aku ditinggal berdua dengan Naura. "Mbak Nadia sendirian, Kak Alvin mana? Oh sama mbak Anisa yaa."
Aku tertawa mendengar ucapan Naura dia yang bertanya dia sendiri yang mejawab. "Kamu lucu banget sih." Kataku berani mencubit pipi putih dan tembemnya lembut sekali pipi gadis ini.
Yang tidak kusangka dia membalas cubitanku dengan gemas. "Mbak Nadia cantik banget loh, suka sama mbak Nadia waktu pertama kali bertemu." Ucapnya yang tetap mencubitku.
"Wah pipi mbak Nadia halus dan lembut banget yaa." Ucapnya yang kini menekan-nekan pipiku dengan satu jari tangannya. Aku dengan senang hati membiarkan dirinya.
"Naura." Tegur suara berat dan berkarismanya. Aku menarik sudut bibirku sedikit ketika melihat dia. Selama lima belas menit dia meninggalkanku sendirian di rumah orang tuanya.
Di belakangnya ada mbak Anisa dengan putrinya yang berumur tiga tahun. "Habisnya pipinya mbak Nadia halus banget Kak" katanya yang masih mengelus pipiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati (TAMAT)
Narrativa generalePART LENGKAP dan EXTRA PART ADA DI KARYAKARSA dan KBM Menjadi perias pengantin adalah pekerjaan Nadia Mahira Hasan. Dia adalah seorang MUA. Dia sudah merias banyak pengantin. Sejak empat tahun lalu. Dia sudah melihat bagaimana pengantin wanita mer...