Aku menunggu kedatangan suamiku di ruang tamu yang belum datang juga dari jam tiga dini hari tadi. Kata mbak Anisa, Abi, ummi dan Gus Alvin berangkat ke pondok Al-Hikam untuk melayat karena kiyai sepuhnya baru saja meninggal. Gus Alvin pernah nyantri di pondok tersebut meskipun hanya setahun. Jaraknya memang jauh. Tiga jam perjalanan dari sini.
Aku sudah mengirim pesan padanya tapi belum dibaca juga. Aku bertanya apa dia jadi yang mengantarku pulang. Ini sudah jam empat sore.
Aku lihat mbak Anisa yang wajahnya ikut panik, apa terjadi sesuatu sama Gus Alvin
"Kenapa mbak?" Kataku yang mencoba untuk tenang.
"Abi katanya sakit, jadi mau pulang ke rumah mau jenguk. tapi Mas Alvin belum datang juga." Katanya yang meremas handphonenya.
"Apa Mas Alvin ngubungin mbak?" Tanyanya lagi. Aku menggeleng dengan sedihnya.
Kami berdua duduk berdampingan dengan pikiran yang sama yaitu menunggu kedatangan suami kami.
Tak lama ucapan salam terdengar dari luar rumah. Kami tahu siapa yang mengucapkan salam tersebut. Kami berdua berdiri secara bersamaan. Sosok yang kami tunggu datang dengan wajah lesunya tapi tetap tersenyum pada kami.
Aku melangkahkan kakiku tapi aku mengurungkannya bahkan aku mundur satu langkah karena mbak Anisa juga melangkahkan kakinya kepada Gus Alvin.
Gus Alvin melihat pergerakanku. Dia menatapku dengan pandangan datarnya aku mencoba untuk tersenyum padanya. Tersenyum meskipun hatiku teriris.
Aku yang harus mengalah.
Kalimat itu yang selalu kutanamkan dalam hatiku dimana dia sudah resmi menjadi suamiku dan sekarang aku sedang melakukannya.
Mbak Anisa salim kepada Gus Alvin. Mbak Anisa menggemgam tangannya memberi tahu kalau abinya sedang sakit. Bodohnya aku kenapa aku masih berdiri disini kenapa tidak masuk ke kamar saja. Aku melihat bagaimana Gus Alvin menenangkan mbak Anisa dengan lembutnya.
Aku meremas tanganku yang aku simpan di belakang tubuhku. Apa aku sedang cemburu? Apa mungkin aku sudah jatuh hati pada suamiku sendiri?
Mbak Anisa meminta Gus Alvin untuk pulang bersama dengannya. Sore ini juga. Gus Alvin melihat padaku. Aku tahu dia sedang bimbang. Dia sudah berjanji akan mengantarku pulang tapi bagaimana jika mbak Anisa meminta Gus untuk pergi ke rumah mertuanya yang sedang sakit.
Siapakah yang akan kamu pilih Gus?
"Mbak Nadia kan mau pulang juga Mas, sekalian kan kita antar pulang mbak Anisa dan kita jenguk Abi." Katanya memberi solusi.
Gus Alvin menatapku kembali. Aku tahu dia sedang merasa tidak nyaman denganku. Karena aku yang menjadi masalah saat ini jadi kuputuskan aku tidak masalah jika Gus Alvin tidak mengantarku.
Padahal sejatinya aku kecewa padanya. Kecewa bukan karena dia akan mengantar pulang mbak Anisa. Tidak. Aku mengerti perasaannya mbak Anisa. Perasan seorang putri yang takut ayahnya kenapa-kenapa ketika umurnya sudah kepala enam.
Aku kecewa pada Gus Alvin karena dia tidak mengabariku dari semalam. Apa dia lupa kalau dia juga punya istri kedua? Kenapa dia hanya memberi tahu mbak Anisa. Sedangkan aku, tidak dikabari sama sekali. Kalau tidak sempat memberitahuku secara langsung kan bisa pakai handphone dengan telepon atau melalui sebuah pesan.
Aku hanya ingin di anggap dan dihargai. Itu saja. Aku tidak butuh hatinya karena aku tahu hatinya dari awal untuk siapa.
"Kita berangkat bersama saja. Saya dengan mobil saya sendiri kalian semobil bertiga dengan Amir." Kataku memberi saran.
Aku tidak mau semobil dengan Mbak Anisa dan Gus Alvin dikala hatiku yang seperti ini. Aku ingin menjauh dari mereka untuk sementara ini.
Amir itu santri yang sudah mengabdi cukup lama kepada Gus Alvin karena dia bisa membawa mobil dan punya SIM jadi dia yang menjadi sopir Gus Alvin kemanapun Gus Alvin pergi. Untung saja Gus Alvin tadi ikut mobil Abi mertuaku yang tentu saja sopirnya berbeda dengan sopirnya Gus Alvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati (TAMAT)
Fiction généralePART LENGKAP dan EXTRA PART ADA DI KARYAKARSA dan KBM Menjadi perias pengantin adalah pekerjaan Nadia Mahira Hasan. Dia adalah seorang MUA. Dia sudah merias banyak pengantin. Sejak empat tahun lalu. Dia sudah melihat bagaimana pengantin wanita mer...