Sebelum aku menikah aku mengajukan satu syarat yaitu, Aku tidak akan ikut suamiku ke rumah dia. Aku akan tetap disini. Di rumahku, bersama Ayahku. Aku ingin merawat ayahku yang sekarang sering sakit. Sering mengeluh pusing.
Dia dan keluarganya menerima syarat yang aku ajukan. Mungkin sebagian orang berpikir karena aku tidak ingin serumah dengan mbak Anisa. Iya memang benar dugaan mereka. Tapi itu hanyalah alasan keduaku.
Kenapa aku tidak mau serumah dengan mbak Anisa karena aku tidak mau dibanding-bandingkan dan aku yakin Mbak Anisapun tidak mau dibanding-bandingkan dengan diriku. Jadi aku tidak akan serumah dengan istri pertama suamiku.
Terlebih lingkungan tempat suamiku tinggal sepertinya tidak cocok denganku. Aku tidak merasa bebas jika tinggal disana.
Rencananya suamiku akan tinggal di rumahku selama tiga hari. Lalu di rumah suamiku, aku akan tinggal tiga hari juga. Karena Minggunya aku ada jadwal untuk merias pengantin.
Tidak ada bulan madu.
Suasana rumahku mulai sepi. Aku sudah selesai menghapus make upku dan aku juga sudah selesai mandi. Aku menggelar sajadahku dan sholat isya' sendirian. Suamiku belum datang. Mungkin dia masih bersama dengan istri pertamanya.
Aku yakin dia tidak akan segera masuk. Jadi aku akan tidur duluan saja. Mbak Anisa sudah meletakan koper suamiku sejak tadi sebelum akad. Haruskah aku membuka kopernya dan meletakan pakaiannya di dalam lemariku.
Apakah sopan jika aku bersikap seperti itu? Tapi aku kan sudah sah menjadi istrinya. Kalau aku membuka kopernya sepertinya tidak masalah. Yasudahlah yaa buka saja.
Aku beranjak membuka koper tersebut yang sejak dari tadi tidak aku sentuh sama sekali. Aku membukanya dan di dalamnya di tata begitu rapi. Pasti mbak Anisa yang menyiapkan ini.
Apakah dia menangis ketika menyiapkan pakaian suaminya untuk tidur dengan istri lainnya?
Membayangkan saja hatiku teriris. Apalagi mbak Anisa yang mengalami sendiri.
Ada tiga kaos pendek polos berwarna putih, hitam dan abu-abu. Tiga sarung, baju koko, handuk dan alat mandi. Apa dia tidak punya celana? Haruskah aku mengambil celananya kak Naufal yang ada di kamarnya untuk dia pakai waktu tidur. Tapi dia mungkin tidak biasa memakai celana. Terlebih celana yang hanya sampai lututnya saja.
Selama aku bertemu dengannya dia keseringan memakai jubah putihnya.
Aku mengambil satu kaos berwarna putih dan sarung hitam lalu handuk. Aku letakan di pinggir kasurku. Pakaian lainnya aku letakan dalam lemariku. Kopernya aku letakan bersama dengan koperku.
Ketika semuanya selesai dan aku sudah mengantuk tapi suamiku itu belum datang juga. Aku bingung. Haruskan aku menunggunya? Atau dia memang sengaja tidak cepat datang karena menungguku untuk tidur. Sepertinya opsi kedua lebih aku terima.
Yasudah aku tidur saja.
Ini adalah salah satu konsekuensi menjadi istri kedua. Dan aku sudah menyadari akan hal ini. Aku sudah menyiapkan mental untuk ini. Lagian aku memang tidak mencintai suamiku. Meskipun aku tidak mencintainya. Aku akan berusaha untuk menjadi istri yang baik.
Sebenarnya aku tidak masalah jika seandainya kedepannya dia lebih memerhatikan Mbak Anisa. Karena aku sadar diri. Aku hanya istri kedua. Atau bahasa kasarnya istri cadangan.
Mbak Anisa Ratu dan aku hanya Selir.
Terlebih, Mbak Anisa sekarang sedang hamil lima bulan. Pasti butuh perhatian extra.
Aku tinggalkan secarik kertas kecil yang berisi tulisan minta maaf karena tidur duluan dan juga minta maaf takutnya baju yang aku siapkan tidak cocok untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati (TAMAT)
Ficção GeralPART LENGKAP dan EXTRA PART ADA DI KARYAKARSA dan KBM Menjadi perias pengantin adalah pekerjaan Nadia Mahira Hasan. Dia adalah seorang MUA. Dia sudah merias banyak pengantin. Sejak empat tahun lalu. Dia sudah melihat bagaimana pengantin wanita mer...