Bab 6 : Foto Lawas

28.5K 2.6K 28
                                    

Gus Alvin menatapku lekat. Dia membawaku ke kamarku agar tidak di lihat orang. Aku sudah berhenti menangis karena dia menatapku dari bawah. Aku dibiarkan duduk di tepi kasur sedangkan dia duduk di bawah. Di tatap seperti itu membuatku malu dan berhenti menangis.

"Sudah tenang?" Tanyanya sekian lama kami tidak bicara. Aku tidak menjawab karena terlalu malu dengan diriku sendiri. Kenapa aku bisa selabil ini sih. Ini pertama kalinya aku menangis di depannya.

"Masih mau pulang?" Tanyanya halus. Akupun mengangguk.

Gus Alvin menghela napasnya. Dia menyentuh tanganku dan menempelkan dahinya di tanganku. "Maaf kan saya Nadia, saya tahu ini berat buat kamu, buat Anisa dan juga buat saya. Mari tetap bersama. Saling menguatkan satu sama lain. Saya menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh tidak main-main."

Aku merasa tersinggung dengan ucapannya. "Jadi maksud Gus, saya yang main-main?" Tebakku kesal.

Meskipun aku istri kedua aku juga menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh.

Aku tidak mau salah satu di antara kami bertiga ada yang terluka dan jika nantinya ada hati yang harus terluka, maka aku yang akan menanggungnya

Tapi aku ragu apa aku bisa menanggungnya sendirian.

Gus Alvin mendongak dan tersenyum. Dia menyentuh pipiku kemudian berlutut sehingga tinggi kami sejajar, dia mendekat padaku dan mencium keningku lama.

Kecupan yang dia berikan padaku memberikan sensasi aneh padaku. Aku merasa aku jauh lebih tenang setelah dia mencium keningku. Aku pernah mendengar kalau ada pasangan kita yang sedang marah cukup beri sebuah pelukan untuk meredam emosinya agar bisa tenang kembali. Apa itu juga berlaku dengan sebuah kecupan di kening?

Setelah mencium keningku, dia memelukku erat. "Sampai kapan kamu akan marah Nadia, hmm?" Katanya di dekat telingaku. Dia mengusap kepalaku dengan lembut.

"Saya akan antar kamu pulang jika sudah waktunya dan itu besok sore." Katanya melepas pelukanku.

"Pagi." Tawarku.

"Sore Nadia." Tegurnya lembut.  Apa dia memang seperti itu juga yaa ke mbak Anisa kalau mbak Anisa sedang kesal. Gus Alvin tetap sabar menghadapi istrinya yang sedang kesal dan merajuk.

Aku jadi kasihan, dia pasti lelah dan juga stres jika aku dan mbak Anisa sedang sama-sama marahnya padanya.

"Baiklah." Kataku yang akhirnya mengalah.

Gus Alvin tersenyum lega mendengar keputusanku. Tapi senyumnya begitu awet. Bahkan terkesan ada sesuatu di balik senyumannya  "Gus kenapa sih kok senyum-senyum terus?" Tanyaku bingung.

"Lucu saja." Katanya senang.

"Apanya?"

"Wajahmu Nadia lucu, ada ingusnya." Katanya yang berlalu pergi dengan tertawa.

Aku memegang hidungku dengan panik. Berdiri dan bercermin pada kaca riasku. Ternyata benar ada ingusnya.

Aaaaa... aku malu!

Aku mengambil tisu dan menghapus ingusku dengan gusar. Jahat sekali suamiku itu setelah dengan lembut dan sabarnya dia menenangkanku tapi sekarang dia dengan teganya meledekku.

Aku ingin sekali berteriak tapi ini bukan di rumahku. Kalau aku berteriak nantinya malah di datangi para santri, Abi, Ummi dan yang lainnya. Mereka pasti panik karena mendengar teriakanku yang mereka pikir aku kenapa-kenapa.

Aku tumpahkan rasa maluku dengan berteriak di balik bantal dengan sekencang-kencangnya. Mengacak kasurku dengan kesal.

"Nadia." Panggil Gus Alvin. Yang dari suaranya sepertinya dia berbicara di depan pintu.
Aku tetap bergeming menutup wajahku dengan bantal.

Dua Hati  (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang