Pijit

71 0 0
                                    


Ada yang mengatakan bahwa surga berada di telapak kaki Ibu. Lalu, bagaimana dengan mimpi? Dimanakah mimpi berada? Satu kata penuh kejutan bagi setiap orang yang mengejarnya. Ada yang sekecil biji selasih, ada pula yang sebesar meteorit. Tidak ada yang berani memastikan, tetapi kita percaya bahwa manusia setidaknya memiliki satu mimpi yang ingin dikerjarnya. Ada yang memilikinya lalu berani mengejarnya, ada yang sudah cukup bahagia walau hanya mendapatkan potongannya, ada yang memilikinya namun berhenti pada angan-angan, dan ada yang memilikinya namun berhenti karena keadaan. Jadi, dimanakah mimpi berada? Untuk beberapa orang, mimpi seperti air yang mengalir tenang di pundak Ibu, dan menguap begitu rupa sewaktu percakapan terjadi diantaranya.

- - - - - - - -

'Masih sisa dua toples Bu, terus ini ada sisa uang setoran kemarin dari warung hijau," kata Agus sembari menaruh tumpukan toples berisi nastar.

'Uangnya taruh di laci dekat televisi aja Gus,' kata Ibu. Tangannya masih sibuk memutar-mutar adonan yang sudah agak mengeras.

Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Cahaya matahari mulai meredup menyisakan gelap yang mulai memenuhi ruangan itu. Ruang tamu sekaligus ruang keluarga dengan luas sepetak, tergantung beberapa bingkai foto berwarna pudar, cat tembok dengan bercak-bercak yang menandakan sudah waktunya berganti kulit, dan sebuah televisi tabung lengkap dengan antena yang posisinya sudah tidak karuan menyala dengan suara yang cukup mengisi seluruh isi ruangan itu.

'Oh iya Bu, tadi Ibu warung hijau pesan dua toples nastar lagi besok, katanya jangan terlalu manis,' kata Agus. Ibunya hanya mengangguk pelan dan tetap fokus pada adonan nastarnya seperti murid yang sedang fokus mengerjakan soal matematika.

Agus hanya melihat ibunya dari samping, lalu segera mencatat pesanan tersebut di buku saku bermotif bunga-bunga milik ibunya. Lalu terdengar bunyi oven, tanda kue sudah matang.

'Gus, tolong keluarin nastar di oven. Kamu taruh di meja makan, jangan lupa ditutupin dulu sama kertas roti,' ucap Ibu, 'Abis itu ke sini tolong pijitin pundak Ibu,' lanjut ucapnya. Ibu mengelap keringat di atas pelipisnya dan memiring-miringkan lehernya yang mulai agak kaku.

Agus segera pergi ke dapur, membuka oven tua yang mulai karatan berisi nastar kuning kecoklatan. Bau yang menggugah selera segera merayap keluar dan menyergap hidung Agus layaknya pasukan gerilya Jenderal Soedirman saat melawan pasukan Koloni Belanda. Dibawa oleh Agus nampan kue tersebut dengan hati-hati sambil memperhatikan langkah kakinya. Setelah ditutup dengan rapi , Agus segera beranjak ke ibunya.

'Bu, istirahat dulu. Dari pagi loh ga kelar-kelar Ibu bulet-buletin tuh nastar,' kata Agus. Dia duduk di belakang Ibunya dengan posisi agak menyamping, lalu memijit Ibunya dengan lengan kerempengnya.

'Nanggung Gus, tinggal satu adonan lagi kok ini. Ga enak sama Ibu Tanti kalau besok pagi belum jadi,' kata Ibu. Dia menggerakan bahu dan tangannya selagi Agus memijitnya.

'Lihat nih leher ibu, ampe kaku kayak celana jeans yang Agus beli di pasar malem,' kata Agus sambil berusaha keras menekan-nekan pundak Ibunya. Tampak urat-urat di tangannya mulai menonjol.

'Memangnya tidak bisa minta dimundurin bu? Kan masih ada banyak pesenan lain juga,' lanjut Agus.

'Gus, ada rejeki tuh ga boleh kita tolak. Mau tidak mau, gimana caranya Ibu harus bisa ambil setiap pesanan pelanggan.'

'Cuman kan Ibu harus jaga kesehatan juga. Jangan sampai malah kecapaian terus jatuh sakit.'

'Ibu masih kuat. Justru kalau diam aja tidak ada kerjaan, Ibu malah pusing. Bangun tidur, bangun lagi, tidur lagi. Mendingan Ibu buat kue kayak gini.'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PijitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang