SETELAH sampai di depan rumah Rose, Lisa langsung turun dan memencet bel.
Kediaman Rose yang sangat megah seolah mengejeknya. Seperti mencoba mendorong Lisa menjauh karena derajat mereka yang berbeda.
Namun Lisa tak mau peduli. Ia hanya ingin melihat Jisung. Ia harus tahu apa Jisung baik-baik saja bersama Rose.
Perasaannya mengatakan ada yang salah.
"Beneran ini rumahnya?" tanya Taeyong setelah menyusul Lisa.
"Iya, ini rumah Rose."
Taeyong menatap Lisa lekat seakan ingin bertanya, tapi tidak ia lakukan. Rasa penasarannya bisa dipuaskan lain hari.
"Harusnya rumah sebesar ini punya ART, Lis. Tapi kalau diliat kayaknya kosong."
Jantung Lisa serasa berhenti berdetak. Ia teringat ucapan Jisung bahwa dia ditinggal sendirian tanpa ada yang menemani.
Setelah semua yang terjadi, Rose masih bersikap sama. Selalu meninggalkan Jisung tanpa merasa bersalah--bahkan sejak Jisung lahir.
"Coba telpon orangnya," saran Taeyong setelah melihat Lisa kehilangan fokus.
Kepalanya mengangguk lalu segera menuruti saran dari Taeyong. Namun nada tunggu terus terdengar, tak ayal menimbulkan rasa takut kembali muncul.
"Rose, Jisung, angkat telponnya." Lirih Lisa yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Panggilan yang kesekian pun tak membuahkan hasil. Sampai-sampai Lisa berjongkok untuk menahan tangis. Hatinya sungguh tidak tenang.
"Sstt, yang tenang. Jangan panik, oke?"
Lisa diam saat Taeyong merebut ponselnya. Di saat yang sama panggilan ke nomor Rose putus karena tidak diangkat.
Jari telunjuk Taeyong hampir memencet tombol memanggil lagi, tapi tertahan karena Rose menelepon balik. Secepat kilat Taeyong mengangkatnya dan mengaktifkan loud speaker.
"Halo, apa ini keluarga dari saudara Rose? Saya lihat nomor ini terus menghubungi."
"Kami temannya Rose. Ini siapa, ya?"
Lisa menoleh dan memandang Taeyong penasaran. Mereka berdua jelas tidak memiliki gambaran sedikit pun akan suara wanita di seberang.
"Saya pihak dari Rumah Sakit Bakti. Maaf menyampaikan berita duka, saudara Rose bersama seorang anak kecil menjadi korban kecelakaan hari ini pukul sebelas pagi."
Lisa merasa dirinya dijatuhi batu dengan berat berton-ton. Oksigen seolah menipis dan menyesakkan dada, kedua tangannya mulai gemetar.
"Jika bisa mohon datang ke Rumah Sakit Bakti, anda bisa mengurus administrasi sementara saudara Rose dioperasi."
Lisa langsung berdiri tegak. "Bagaimana dengan Jisung?!"
"Maaf, Jisung?"
"Anak kecilnya, Suster." Jawab Taeyong.
"Dokter bisa menjelaskan secara langsung. Kami minta anda segera datang ke rumah sakit."
Seketika Lisa berlari ke arah mobil, disusul Taeyong yang mematikan telepon lebih dahulu. Kedua mata Lisa berkaca-kaca membayangkan Jisung yang kesakitan.
"Kak, ayo cepet ke rumah sakit!"
Taeyong mengeratkan genggaman pada setir. Dirinya juga khawatir dan tanpa perlu disuruh Lisa, ia akan mempercepat laju mobil.
Keadaan terasa menegangkan. Tidak ada yang berani bersuara karena mereka memiliki ketakutan tersendiri akan kabar yang baru diterima.
Sementara pikiran Lisa hanya dipenuhi oleh Jisung. Mengulang kembali seluruh kenangan yang ia simpan di dalam benak.
Wajah polos Jisung, tawa bahagianya, sifatnya yang mirip Chanyeol, kedua mata yang menyipit sempurna saat tersenyum, hangatnya pelukan Jisung.
Kakaknya pasti kecewa berat dengan Lisa.
Padahal Chanyeol sudah mempercayakan Jisung padanya. Namun Lisa malah terpaku pada luka di dalam hatinya sendiri.
Bahkan di saat mulai dekat dengan Jisung, Lisa justru hampir melepaskan Jisung pergi.
Akhirnya Lisa mengakui bahwa ia memang tak ingin berpisah Jisung. Lisa sudah menerima Jisung jauh di lubuk hatinya. Ia menyayangi Jisung lebih besar dari yang ia perkirakan.
Sama seperti yang Irene katakan, Jisung menyayangi Lisa sebagai orang tua. Begitu pula dengan Lisa yang menyayangi Jisung lebih dari hubungan bibi dan keponakan.
Lisa tidak ingin kehilangan Jisung.
Memikirkan semua hal tersebut membuat air matanya mengalir.
Ia sangat menyesal.
[tbc.]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.