39 | crisis

51.3K 8K 2.5K
                                    

warning: tetes air mata~~~~~








***

Selama sejenak, lidah Jenar terlalu kelu untuk bicara.

"Je?"

"... ya?"

"Jangan panik dulu." Jella seperti bisa membaca emosi Jenar hanya dengan mendengarkan suaranya. "Coba lo tanyain Johnny, siapa tau Rei ada di tempatnya."

Jenar berdeham, lantas berujar dengan susah-payah. Beragam skenario buruk bermain dalam kepalanya, membuatnya kian dilingkupi kekhawatiran. "Lo udah coba telepon Regina?"

"Udah. Nomornya nggak aktif."

Jenar makin pening. Rei bukan tipe yang akan membiarkan ponselnya mati, apalagi ketika dia bilang dia mau pulang sendirian dari kampus. Kalau dia balik sendiri, dia pasti menggunakan transportasi online. Kalau pun batre ponselnya sudah sekarat, Rei jelas bakal lebih memilih mampir ke tempatnya Dhaka atau Tigra buat re-charge batre daripada memaksakan diri dengan ponsel yang sudah mau mati.

"Jenar, jangan gila dulu."

"Dia nggak pernah kayak gini, kan?"

Jella menghela napas. "Iya, sih. Tapi—"

"Ini udah mau lewat jam tujuh, Jella. Jarak kampus ke kosan lo paling juga cuma sepuluh menit. Dia kemana sampai dua jam lebih nggak ada kabar?" Jenar hampir nggak punya energi bahkan hanya untuk bersuara, seakan-akan semuanya tenaganya telah dihisap habis oleh sesuatu. "Oke, gue bakal coba cek ke Johnny. Kalau ada kabar, gue kasih tau lo. Lo juga, kasih tau gue ya."

"Sip."

Jenar menyudahi teleponnya, ganti menelepon nomor Johnny. Teleponnya tersambung, tapi Johnny nggak menjawab. Jenar mencoba menelepon lagi, dan masih juga nggak terjawab. Akhirnya cowok itu meraih kunci, melangkah keluar dari unit apartemennya dan pergi ke lantai tempat di mana unit apartemen Johnny berada. Dia mengetuk pintunya beberapa kali, nyaris seperti menggedor. Suara seorang perempuan menyahut, disusul pintu yang terayun terbuka. Jenar berharap itu Rei. Bakal lebih baik jika itu Rei, meski sebenarnya Rei nggak punya alasan logis kenapa dia berada di tempat Johnny pada jam-jam seperti ini—tapi harap Jenar terpatahkan seketika saat seraut wajah milik Sona menyambutnya.

"Jenar?"

"Siapa, Na—well, is there something important?" Johnny muncul dengan mengenakan kaos dan celana training. Rambutnya basah, ditambah handuk yang tersampir di bahunya.

"Lo tau Regina ada di mana?" Jenar bertanya tanpa basa-basi.

"Nggak."

"Jesus Christ."

"Kenapa?" Johnny bisa merasakan ada sesuatu yang nggak beres.

"Regina nggak ada di mana-mana. Temen sekampusnya bilang, dia balik dari kampus menjelang jam lima sore. Tapi sampai sekarang, anak-anak kosannya pun masih nyariin dia ada di mana. Dia nggak ada schedule part-time hari ini. Handphonenya mati—heck, I think I am going crazy. Even di hari ulang tahun gue, nomornya nggak benar-benar mati kayak sekarang."

"Calm down, okay, Je? Mungkin handphonenya cuma keabisan batre dan dia ada urusan mendadak."

"I can't. I'm afraid something bad has happened to her." Jenar berujar, lantas melangkah cepat meninggalkan muka pintu unit apartemen Johnny. Dia menyusuri koridor yang akan berujung pada lift.

"Lo mau kemana?!" Johnny nggak bisa menahan diri agar nggak bertanya.

"Nyari Regina!"

Pintu lift terbuka dan Jenar masuk ke dalamnya.

Teknik ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang