40 | halo

90.5K 8.6K 6.4K
                                    

warning: tengnong. 





***

Ivonne menghentikan langkahnya sejenak, meski jaraknya dan Jenar belum cukup dekat. Matanya melirik sekilas pada Johnny. Sudah sekian tahun berlalu, tapi apa yang dilakukan oleh cowok itu pada adik perempuannya masih jadi sesuatu yang sulit dimaafkan. Johnny sendiri nggak berkata apa-apa, diam saja ketika Sona menariknya agak ke pojok, mengajaknya duduk sementara yang lain masih berdiri. Jenar sudah terlalu lelah buat bersikap defensif. Matanya sembab dan merah, sisa tangis yang belum sepenuhnya kering. Rambutnya berantakan, dengan penat di wajah yang tak mampu disembunyikan. Selama Ivonne kenal Jenar, dia belum pernah melihat Jenar sekacau itu.

Dalam keluarga besar mereka, Jenar punya posisi tersendiri bukan hanya karena ibunya adalah tante Ivonne yang paling tua, tapi juga karena Jenar merupakan cucu laki-laki satu-satunya dari dua keluarga. Cowok itu nantinya dianggap akan meneruskan garis keluarga, sehingga dia menerima lebih banyak rasa hormat dari yang lain. Tapi itu nggak lantas membuat Jenar jadi besar kepala. Dari sekian anggota keluarga yang menganggap Ivonne sebagai the black sheep of the family—terutama setelah apa yang sempat dilakukan Ivory di masa lalu—cuma Jenar yang masih mau menyapanya atau sekedar mengobrol dengannya.

Maka jujur, kata-kata Jenar yang terdengar seperti ultimatum, untuk Ivonne yang dia harapkan menghentikan seluruh yang dia lakukan dengan ayahnya Rei cukup memukul perempuan itu.

"Ngapain lo di sini?"

Ivonne agak tergugu, membuat Jella beranjak. "Dia siapa?"

"Kakak sepupu gue." Jenar menukas dingin, lalu meneruskan. "—sekaligus pacar ayahnya Regina."

Jella ternganga sejenak. Kekagetan berkelebat di wajahnya, yang lantas tergantikan oleh amarah. Kayaknya, Jella sudah akan menerjang Ivonne dan minimal menjambak rambutnya jika Milan nggak buru-buru menahannya dengan pelukan. Tentu saja, Jella melawan.

"Lepasin gue, Milan! Heh—pelakor anjing—"

Dhaka berdecak, cepat-cepat mendekat Jella dan menutup mulut Jella dengan telapak tangan. Jella nggak terima, mencoba menggigit telapak tangan Dhaka, yang dibalas Dhaka dengan delikan. "Ini rumah sakit, bego! Kalau mau teriak-teriak, mending lo ke parkiran sana, atau ke tengah jalan sekalian! Syukur-syukur kalau ada truk lewat, biar sekalian lo ikut nyusul masuk sini!"

"Dhaka," Tigra memotong dengan nada memperingatkan. "Ngomongnya jangan yang macem-macem."

"Abisnya, nih orang malah ribut sendiri! Tahan dulu, bisa?"

Jella melotot, membuang napas keras sambil menatap pada kedua lengan Milan yang masih melingkar di pinggangnya. "Lepasin tangan lo. Gue janji gue nggak akan nyerang si jalang ini—seenggaknya, sampai dia selesai ngomong, mau ngapain dia kesini!"

Wajah Ivonne kian memucat.

"Kak, gue nanya ke lo. Ngapain lo di sini?" Jenar membuang napas. "Asli, gue capek banget. Gue udah cukup sakit kepala, jadi—"

"Gue tau dari postingan Tante Cara di grup keluarga." Ivonne memotong kata-kata Jenar. "Soal dia—maksud gue, pacar lo."

Jenar memiringkan wajah, menatap pada Ivonne tanpa kata.

"Dia... gimana?"

"Kayak yang Mama bilang di grup." Jenar menjawab, berusaha bicara sedatar mungkin. Dia lagi nggak baik-baik saja, namun dia ingin menegarkan dirinya. Bukan buat orang-orang yang sekarang lagi berdiri di depannya, melainkan untuk Rei. Cewek itu pasti nggak akan suka melihat Jenar berkecil hati dan dikuasai pikiran negatifnya sendiri. "Kalau sampai besok pagi dia belum dapat donor yang tepat—well, you know what will happen. I don't need to explain it to you, do I?"

Teknik ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang