"Di, kayaknya lo nyusul yang lain dulu deh. Takutnya gue lama." kata Sabrina sambil membuka helmnya.
Bohong, tentu saja. Mengambil berkas tidak mungkin memakan waktu lama. Toh, ia bukannya akan bimbingan.
Tapi masalahnya teman-temannya itu hendak menonton film horror. Dan teman-temannya tidak tahu bahwa Sabrina yang terkenal tegas dan sangat bisa diandalkan ini takut film horror.
Atau lebih tepatnya sangat takut.
Sangat, sampai ia pasti tidak akan bisa tidur nanti malam jika ikut menonton. Padahal ia sangat memerlukan tidur yang cukup untuk bisa mengikuti kuis besok dengan keadaan prima.
"Nggak apa kali, gue tungguin aja." jawab Adi disertai kerutan alisnya. Ia memang berinisiatif mengantar Sabrina ke firma yang hendak ditujunya karena merasa tidak enak membiarkan teman perempuannya berpergian sendiri disaat hari sudah sore.
"Gue bisa sendiri kesananya, Di. Tadi di kampus memang udah lumayan sepi, tapi di daerah tengah kota gini aman kali. Lagipula Jeffrey nggak suka gue naik motor sama cowok lain."
Ketika nama Jeffrey disebut, Adi otomatis langsung menyerah. Ia tentunya tidak ingin mencari masalah dengan lelaki yang disegani di kampus tersebut.
"Yaudah, awas lo nggak nyusul ya! BPH lengkap lho ini." ancam Adi sambil menyimpan kembali helm yang dipinjam Sabrina tadi.
"Iya-iya," jawab Sabrina sambil memutar bola matanya malas.
Sabrina melangkahkan kakinya ke dalam firma, memberi tahukan bahwa ia hendak mengambil data yang seharusnya sudah dititipkan oleh dosennya tersebut. Sialnya, resepsionis firma tersebut berkata bahwa tidak ada berkas appaun yang dititipkan untuknya dari sang dosen. Dan dosennya tersebut sedang ada klien saat ini sehingga tidak bisa ditemui.
"Yaampun, gue kira ini dosen muda baik pengertian. Taunya semua dosen sama aja ya, seenaknya sendiri. Kalau nggak bisa hari ini kan ya bilang aja bisanya besok, gue nggak perlu jauh-jauh kesini. Brandon ganteng-ganteng rese juga ternyata," omelnya pelan sambil mengotak-atik ponselnya, berjalan ke sofa untuk menunggu.
"Ehem"
Sabrina terkejut mendengar deheman itu, ponsel yang dipegangnya hampir saja terlepas. Gadis itu langsung menyengir lebar menatap Brandon Alexius yang sedang menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Eh- sore Pak, hehe" sapanya refleks dengan kekehan canggung.
"Sekretaris saya langsung turun tadi ketika resepsionis mengabarkan anda sudah datang. Tapi liftnya bermasalah dan sedang diperbaiki saat ini. Maaf kalau membuang dua menit anda dengan percuma." kata Brandon tenang disertai sindiran pada akhir kalimatnya.
"Nggak Pak, mau nunggu tiga puluh menit lagi juga saya siap kok!" sergahnya cepat, "Mau langsung bimbingan juga siap!"
Brandon menaikkan alisnya, "Memangnya sudah ada progress?" Brandon tentu saja sangsi, mahasiswanya ini baru bimbingan kemarin.
Sabrina merutuki mulutnya yang asal bicara dari tadi karena panik, "Hm saya sudah menambahkan dari beberapa jurnal yang ada di perpustakaan. Lalu beberapa tempat yang bapak revisi juga sudah saya perbaiki." Thanks to her insomnia last night, ia punya sedikit pembelaan kali ini.
"Saya sedang kosong. Kalau anda sudah siap, saya available saat ini."
Sabrina berpikir cepat, ini bisa menjadi alsan yang bagus untuk tidak ikut jadwal menonton bersama teman-temannya. Ia akan menjadikan bimbingan sebagai alasan dan menyusul setelah mereka selesai nonton. Sabrina yang sudah memperoleh kembali ketenangannya tadi berkata dengan percaya diri, "Baik, Pak. Kalau bapak bersedia, saat ini saya juga siap. Oh, kebetulan saya mau mengabarkan bahwa teman saya Nana Fransisca mengundurkan diri dari lomba ini, Pak. Jadi saya akan melanjutkan sisanya secara individu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucky
Romance[Book 2 of XOXO Series] Sabrina tidak tahu bagaimana dan sejak kapan semua ini berubah. Hubungannya yang sudah terjalin selama 5 tahun, entah sejak kapan sudah tidak lagi sama. Jeffrey masih tetap sama, masih bersinar dengan ketegasan dan kelembutan...