Dhea pertama kali mengenal Sabrina ketika mereka masih duduk di bangku SMP. Mereka tidak sekelas, namun menjadi perwakilan kelas sebagai panitia acara yang digelar di sekolahnya dulu. Sabrina terpilih karena dia merupakan ketua kelas, sedangkan Dhea menggantikan posisi ketua kelasnya karena temannya itu sudah terlalu sibuk dengan kegiatan litbang.
Ketika di SMA, lagi-lagi mereka terlibat kedalam kepengurusan yang sama, kali ini OSIS. Padatnya kegiatan OSIS, rapat-rapat yang datang silih berganti membuat mereka semakin dekat. Tapi masih dalam konteks teman organisasi.
Sabrina dan Dhea mulai menjadi sahabat tak terpisahkan mungkin ketika mereka duduk di kelas tiga SMA. Sabrina yang selama SMA belajar di jurusan IPA tiba-tiba ingin mengambil hukum untuk studi kuliahnya. Dhea yang sudah lama mempersiapkan untuk jurusan ini pun membantunya dan mereka banyak menghabiskan waktu belajar bersama untuk persiapan ujian masuk.
Selama tujuh tahun mengenal Sabrina, Dhea belum pernah melihat Sabrina menangis— atau bahkan melihat wajahnya sembab karena habis menangis.
Sabrina tidak menangis saat anak-anak panitia SMPnya dulu beramai-ramai menonton film Miracle in Cell. Sabrina tidak menangis ketika mereka resmi lengser dari jabatan OSIS. Sabrina juga tidak menangis saat tangannya tergores paku yang membuatnya harus mendapat tiga jahitan.
Oleh karena itu, ketika pagi ini Sabrina muncul di depan pintu apartemennya, dirinya siap memuntahkan amarahnya karena temannya itu meninggalkannya di mall dengan hanya mengirimkan pesan 'gue balik duluan' dan menghilang semalaman. Tapi Dhea langsung menelan kembali semua ocehannya ketika Sabrina memberinya senyum kecil dengan mata bengkak dan rambut yang diikat satu asal-asalan. Oh gosh, everyone knows how sensitive Sabrina with her hair.
"Hai," sapa Sabrina santai.
Dhea membutuhkan satu menit penuh untuk mencerna situasi yang terjadi sebelum membuka mulutnya, "Lo— sehat?"
Sabrina tidak membalasnya dan hanya melebarkan senyumnya, "Bolos yuk?"
Dhea yang mengetahui temannya itu tidak baik-baik saja dengan segera menganggukan kepalanya, meskipun ia ingat jelas minggu depan merupakan minggu UTS dan mereka seharusnya tidak boleh melewatkan kelas ini.
"Mau ke mana? Villa gue di puncak? Kita balik besok lusa."
Sabrina mengangguk, "Sounds great."
"Oke kita balik ke rumah gue buat ambil kunci villa." kata Dhea, "Lo ambil baju di apart—"
"Udah siap." potong Sabrina sambil menunjukan ransel kecil dipunggungnya.
Dhea mengerjap, "Okay."
***
Mereka tiba di rumah Dhea ketika hari sudah mendekati siang hari. Dhea menoleh kearah Sabrina yang tampak melamun sambil melihat jendela, tampak tidak sadar kalau mobil sudah berhenti.
"Sab, lo tunggu dimobil aja gue ambil kunci dulu." kata Dhea yang membuat Sabrina sadar dari lamunannya dan tersenyum berterima kasih, Sabrina tentu tidak ingin mendapat pertanyaan tentang penyebab kacaunya penampilannya dari ibu Dhea saat ini.
Mengingat waktu sudah menunjukan pukul sepuluh, Dhea terkejut ketika mendapati kakaknya yang membukakan pintu untuknya, ditambah Brandon berpenampilan santai dengan baju rumahnya, "Kok lo nggak kerja?" tanyanya refleks.
Brandon mengangkat alis, "Dan kenapa kamu nggak kuliah?"
Dhea memajukan badannya sedikit, "Gue mau ke puncak dua malem. Lo bantu gue supaya mommy nggak tahu gue bolos."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucky
Romance[Book 2 of XOXO Series] Sabrina tidak tahu bagaimana dan sejak kapan semua ini berubah. Hubungannya yang sudah terjalin selama 5 tahun, entah sejak kapan sudah tidak lagi sama. Jeffrey masih tetap sama, masih bersinar dengan ketegasan dan kelembutan...