Part 5 : Broken rules

27 1 0
                                    

"Sabbie, tolong panggilkan Brandon turun sarapan ya." pinta ibu Dhea sambil mengaduk masakan dihadapannya.

Sabrina yang baru saja selesai menyusun alat makan di meja langsung menoleh kaget, tidak siap sama sekali dengan perintah itu. Sabrina masih sangat canggung dengan Brandon. Pada dasarnya Sabrina memang bukan orang yang mudah akrab dengan orang baru, dan keadaan tersebut diperparah dengan status Brandon sebagai dosennya membuat dirinya semakin bingung bagaimana harus bersikap.

Sabrina melirik ke arah Dhea yang sedang memotong roti, ia bersumpah bahwa sahabatnya itu sangat mengetahui keengganannya. Tapi, saat ini sahabatnya itu jelas tidak akan membantunya. Dhea bahkan membalikan badannya dan pura-pura mengecek tanggal kadarluarsa selai.

Sabrina merutuk dalam hati, bersumpah tidak akan memberi contekan kepada sahabatnnya saat kuis nanti siang.

Sabrina menghela nafas, memberi senyum sekilas kepada ibu Dhea dan beranjak menuju kamar Brandon. Ia dengan ragu mengetuk pintu tersebut, bingung hendak menyapa Brandon dengan panggilan apa disini.

Terdengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk, Sabrina menghela nafas sekali lagi sebelum akhirnya membuka pintu didepannya.

"Permisi, Pak. Dipanggil turun untuk sarapan." kata Sabrina sopan.

Sabrina merupakan seorang pengamat. Hal pertama yang selalu dilakukannya setiap memasuki ruangan baru adalah mengamati. Namun sekarang, Sabrina setengah mati menahan dirinya untuk tidak mengedarkan pandangannya demi alasan kesopanan. Matanya terfokus pada Brandon yang duduk di meja kerjanya yang bersebrangan langsung dengan pintu.

Brandon tampak menaikkan sebelah alisnya mendengar panggilan itu, tapi ia memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya dan mengangguk, "Baik, sepuluh menit lagi saya turun."

Sabrina mengangguk sopan dan hendak menutup pintu kamarnya itu ketika sebuah tawa mengambil atensinya.

Sabrina membeku, suara itu merupakan suara yang sangat dikenalinya. Tanpa sadar ia membuka kembali pintu kamar Brandon, bertanya tanpa sempat menghentikan dirinya, "Itu... Romeo? Kim Romeo?"

Brandon mendongak dari layar laptopnya, menatap Sabrina bingung tapi tak urung ia mengangguk, "Ya. Ada masalah?"

Kedua bola mata Sabrina terbuka lebar, mulutnya juga ikut terbuka. Sabrina masih berusaha memproses hal yang terjadi saat ini, aktor favoritnya, yang semua penampilannya tidak pernah ia lewatkan sedang berbicara dengan sang dosen. Memang bukan berbicaranya kepadanya, tapi ini pertama kalinya ia merasa sedekat ini dengan idolanya.

"Sabrina?"

Sabrina tersadar dan refleks menggeleng "Nggak— maksud saya tidak. Tidak ada masalah, tentu saja tidak. Maaf, saya seharusnya—"

Brandon menaikan alisnya melihat tingkah mahasiswanya itu, "Sabrina?"

Panggilan itu membuat Sabrina berhenti dari ocehannya tidak jelasnya. Ia menatap dosennya itu dengan mulut terkatup tapi dengan wajah yang sama kacaunya.

"Breathe," titah Brandon tenang.

Sabrina menarik nafas dan menghembuskannya pelan, "Okay. Maaf, Pak. Ehm... Saya permisi."

Brandon masih belum mengerti apa yang baru saja terjadi tapi ia menganggukan kepalanya. Memilih untuk tidak mengambil pusing kejadian barusan meskipun ada secuil rasa penasaran. Sejauh yang Brandon tau, Sabrina merupakan mahasiswanya yang selalu tampak tenang dan terkontrol. Tidak pernah sekalipun gadis itu terlihat panik ketika Brandon mencercanya dengan pertanyaan. Kata-katanya selalu tersusun dengan rapi.

LuckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang