Hakim Kejam, Teori, dan Anak Baru

3 0 0
                                    

Indonesia, Asia Tenggara, Bumi

"Sebagaimana yang telah dibacakan oleh jaksa penuntut umum, maka terdakwa telah terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap nyonya Arumi Hendarso yang tak lain adalah Istri terdakwa. Terdakwa juga terbukti, melakukan pemalsuan barang bukti, dan juga mengancam para saksi, serta menghalangi jalannya penyidikan. Dengan demikian, sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana terbaru, menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap terdakwa, Bambang Hendarso."

Tok! Tok! Tok!

Palu hakim Rowena menggema di ruang sidang itu, terasa seperti telah menampar telak pada kesadaran Arunika yang tengah menonton siaran langsung sidang pembunuhan tersebut. Ia yang berada di kantin Bu Sri, bersama teman dekatnya, Reilly. Bisa ia lihat temannya itu meletakkan novel series Tere Liye kesukaannya, ia menaruh atensi pada penayangan berita pembunuhan di TV yang menempel langsung pada dinding kantin.

"Sidang Mama kamu lagi, Ru?" tanya Rei lirih. Ia mengawas pada sekitarnya, takut-takut jika ada yang mendengar percakapannya dan Arunika di kantin yang cukup ramai itu.

"Iya, tu orang emang gaada takut-takutnya jatuhan vonis seberat itu. Padahal dia sendiri tahu, si Bambang kan Jendral bintang dua," jawab Aru dengan anggukan lemah. Setelahnya, ia menghela napas, tak habis pikir dengan vonis yang dijatuhkan sang Mama.

"Padahal tuntutan JPU kan cuman 20 tahun penjara, tapi Mama kamu keren sih langsung hukuman mati." Reilly berusaha menghibur Arunika dengan ucapannya, walaupun ia tahu Mama temannya itu terkenal dengan julukan 'Hakim Kejam'.

"Keren apanya, kejam sih iya. Ngomong-ngomong, kamu baca apa lagi sekarang?" tanya Aru berusaha menghindari topik.

Ah, Rei mengerti kode itu, ia lebih memilih menceritakan bukunya daripada meneruskan topik yang tidak disukai Arunika. "Masih series yang sama kayak minggu lalu, Tere Liye yang series Bumi. Aku lumayan suka sama topik ini, kayak kamu bisa bayangin kan gimana kalo ada manusia lain di Bumi ini? Atau mungkin di luar angkasa dan kita bisa kesana gunain portal? Bagus, kan?"

"Iya, setauku bahkan ada penemuan tentang cacing yang bisa menembus hingga perut bumi, jadi kemungkinan adanya makhluk lain yang tinggal di bawah tanah itu bisa terjadi. Dan lagi, alam semesta itu lebih luas yang dari kita bayangkan, penemuan-penemuan tentang planet yang layak huni kayak bumi juga pasti di masa depan makin banyak. Dengan begitu, kemungkinan adanya makhluk hidup lain selain manusia, hewan, dan tumbuhan bisa aja ada, kan?"

Prang!!

Suara piring pecah mengusik telinga Aru dan Rei di kantin itu, membuat mereka reflek mencari sumber suara di sekitar mereka. Seorang pemuda yang memakai sweater abu-abu terlihat sedikit panik, karena ibu kantin mulai mendekatinya. Padahal beliau hanya ingin membersihkan pecahan piringnya.

"Siapa sih 'tu, Rei? Kok aku ga pernah liat muka dia deh perasaan?" tanya Arunika berbisik. Matanya mengekor ke pemuda yang sedang meminta maaf pada Bu Sri itu.

"Dia anak baru, Ru. Dia kan perkenalan kemaren di depan kelas, masa kamu gatau?"

"Lah emang kamu tahu namanya?"

"Kagak hehe."

Padahal teman Reilly itu tahu, saat pemuda itu memperkenalkan diri kemarin tidak ada yang memperhatikan. Reilly sedang sibuk membaca novel, dan dirinya sendiri malah sibuk scroll sosial media.

"Yeuu, dasar!"

"Tapi, Ru. Kamu ngerasa ga sih, muka dia tuh...." aneh, aku ngerasa aneh.

Rei hanya melanjutkan ucapannya dalam hati, takut-takut kalau pemuda itu mendengarnya. Apalagi dengan jarak dua meja makan yang lumayan besar, memungkinkan pemuda itu bisa mendengar mereka. Namun, Aru salah paham pada Reilly dan berpikir hal lain.

"Muka dia tuh ganteng? Gampang banget naksir orang, Rei...Rei."

"Ishh, ga gitu anaknya Rowena!" pekik Reilly panik. Ia mencari keberadaan anak baru yang ternyata telah hilang dari kantin, ia akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lebih keras. Untunglah.

"Aku mikir, muka dia aneh! Kamu ga liat mata dia tuh? Masa mata dia merah kek sharingan? Udah gitu-"

"-Ya kali aja lagi alergi. Udahlah daripada kamu mempermasalahkan muka dia, mending balik yuk, udah jam setengah dua nih! Kasian tuh Bu Sri mau beres-beres mesti nungguin kita dulu," omel Aru pada Rei sambil bergegas membawa dua mangkok soto miliknya dan milik Rei.

"E-eh tapi, masa gitu sih! Ru! Arunika! Tungguin ih!"

. . .

Arunika memasuki kelas bersama Rei di belakangnya. Rei menghampiri bangkunya di baris nomer tiga, sedangkan Aru berdiri kebingungan di ambang pintu karena semua teman sekelasnya sudah membentuk kelompok di jam kosong hari itu.

"Lah, emang Bu Ana ninggalin tugas, gaes?" tanya Aru pada seluruh teman sekelasnya. Ia mendekat ke kelompok Stella yang duduk di sekitar bangkunya.

"Kamu sama Rei ga nyimak grup apa? Kita udah bikin kelompok di grup kelas, soalnya tadi Bu Ana sempet ke sini waktu banyak yang keluar kelas, dia nitip pesen suruh buat kelompok tiga orang gitu," jelas Stella, teman sebangku Arunika.

"Eh terus tadi, aku sama Aru ga dicariin kan?" Rei di bangkunya tiba-tiba panik, ia langsung bertanya pada teman sebangkunya, Luna.

"Enggak kok. Tapi yang belum dapet kelompok cuman kamu sama Aru doang, sana buruan ngelist. Btw, tugasnya suruh buat karya ilmiah, temanya bebas," jawab Luna sekilas. Ia kembali berdiskusi dengan Stella dan Riri.

"Oke, makasih, Luna! Yuk, Arunika!"

"Eh bentar-bentar! Deadline tugas ini kapan?" Aru kembali bertanya pada kelompok Stella.

"Lusa, pas ada pelajaran Bu Ana suruh di kumpulin, sekalian disuruh bikin ppt pas penelitian. Oh iya, trus katanya kalo udah bel, boleh pulang," jawab Riri kembali mencatat kebutuhan kelompoknya.

"Oke-oke! Makasih!"

Kringg!

"Yaudah deh, besok aja ya, Ru. Udah bel, aku capek mau pulang," kata Reilly setelah mendengar bunyi bel.

"Ga sekalian nebeng aku nih?" Aru menawarkan tumpangan pada Rei. Hitung-hitung menghemat ongkos, pikirnya.

"Ga, makasih. Aku udah dijemput Ibuk nih, duluan guys!"

"Iyaa!"

Belum sempat Reilly keluar dari pintu kelas, anak baru yang tadi ia dan Aru sempat lihat memasuki ke kelas. Rei seketika membeku melihat mata yang semerah darah itu tiba-tiba berubah ke mata normal manusia.

"Na! Lo belum dapet kelompok buat tugas Bu Ana, kan? Lo masuk kelompoknya Arunika aja!"

"Hah?!"

Mawa : Negeri Sejuta HukumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang