Papa Aru, Gadis Kecil, dan Lubang Misterius

0 0 0
                                    

Indonesia, Asia Tenggara, Bumi

Arunika jarang mengunjungi rumah neneknya, hanya saat Mamanya pergi dinas saja. Tapi disinilah ia berada, di rumah neneknya yang bernuansa putih antik. Ia benar-benar bosan saat ini, bahkan ia tak memiliki mood untuk belajar di jam empat sore itu. Neneknya tengah merajut, bibi Siti sendiri daritadi sibuk membersihkan rumah. Ia bisa mati kebosanan, pikirnya.

Arunika berada di atas kasur dengan posisi rebahan, hingga sebuah ide muncul di kepalanya. Ia mengambil dan mengotak-atik ponselnya selama beberapa menit, lalu ia meletakkan benda itu di kasur. Ia beranjak dari kasurnya ke depan lemari dengan cermin yang seukuran dengan pintunya. Setelahnya, lagu OMG dari Newjeans terdengar dari ponselnya, membuat Aru menari dan menyanyikannya dari awal hingga akhir lagunya. Selesai menari membuat hawa kamarnya memanas, jadi ia memilih membuka jendela kamarnya di samping lemari.

Jendela kamar yang ditempati Arunika menghadap langsung pada halaman belakang rumah neneknya. Di sana hanya ada beberapa tanaman yang di rawat nenek dan Bi Siti selama pandemi, dan juga lapangan hijau yang berselimut rumput Jepang yang terawat dengan baik. Dia menatap halaman yang tidak terlalu luas itu, seakan-akan ada bayangan kenangan dirinya di umur 8 tahun yang begitu senang bermain. Di halaman itu pula berkumpul seluruh keluarganya saat ia merayakan ulangtahunnya yang ke-8, tepat sebelum Papanya menghilang bak ditelan bumi.

Papa Arunika adalah seorang jurnalis stasiun tv dan majalah politik yang cukup terkenal. Sebelum menghilang, beliau cukup aktif membuat artikel kritis tentang pemerintahan Indonesia dalam berbagai bidang, yang kemungkinan besar membuat posisinya sedikit terancam. Sampai akhirnya, ia dinyatakan menghilang sepuluh tahun yang lalu. Tentu berita ini diliput langsung oleh beberapa media, hingga berita itu terus mendapat atensi publik selama setahun penuh. Namun entah bagaimana, setahun setelahnya berita itu lenyap begitu saja. Bahkan yang lebih ironis, polisi tidak melakukan penyelidikan apapun. Seolah-olah mereka sudah tahu apa yang terjadi dengan Papanya. Publik ikut menduga-duga bahwa pelakunya adalah bagian dari pemerintah yang tersinggung, namun tak ada yang bisa melakukan apapun.

Selama sepuluh tahun, Mama Rowena memilih untuk terus menyibukkan diri dengan karirnya dan berusaha menghiraukan kesedihannya atas menghilangnya sang suami. Oleh karena itu, hanya sedikit yang sadar bahwa sebagai Hakim, Rowena cukup kejam dalam pelanggaran HAM berat maupun ringan. Tentu Aru mengerti, meskipun terkadang ia tidak menyukai hal itu sedikit pun.

Rowena dan putrinya itu selalu berdoa agar Papa Arunika itu baik-baik saja hingga saat ini, dan tidak bernasib sama dengan para wartawan yang menghilang dan meregang nyawa karena berita. Sebut saja seperti Muhammad Jamaluddin, Alfrets Mirulewan, Naimullah, dan Fuad M Syarifuddin yang ditemukan tewas mengenaskan di jaman Orde Lama dan Orde Baru. Mereka hanya segelintir orang yang menghilang karena kebebasan pers sangat mengkhawatirkan di masa itu. Kasus mereka bahkan tidak diselesaikan dengan benar oleh aparat dan penyidik kala itu, sama seperti kasus Papa Arunika.

"A–apa...yang...terjadi?"

Lamunan kesedihan Arunika membuyar siang itu, ia dikejutkan dengan hal yang tidak terduga muncul di halaman belakang rumah neneknya. Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap dan berangin kencang, lalu petir menyambar tanah hingga membuat halaman itu seakan-akan runtuh. Muncul siluet sinar terang berwarna merah-jingga bagai lava gunung berapi, sesuatu terlempar keluar dari lubang itu lalu menabrak beberapa pot di sisi halaman. Ah, atau mungkin seseorang, karena sosok itu terlihat seperti gadis kecil yang berjubah.

Kejadian itu terjadi hanya selama satu menit saja, Arunika yang dilanda keingintahuan berlari keluar kamar menuju pintu belakang meskipun ia juga dilanda ketakutan. Ia tidak melihat Neneknya atau bahkan Bi Siti dimanapun, tetapi fokusnya hanya ingin melihat apa yang terjadi dengan halaman belakang rumah itu. Namun ia kembali dibuat tercengang setelah melangkahkan kakinya ke halaman itu, halaman yang ia pikir luluh lantak diterjang badai singkat tadi tidak terdampak apapun. Tanah yang runtuh dan dedaunan yang berserakan seperti yang ia lihat tadi kembali seperti semula, tetapi tidak dengan gadis kecil yang tergeletak di atas pot tanaman Neneknya itu. Ia kembali berlari ke arah gadis itu, Aru menatapnya panik karena wajah, lengan, dan kakinya dipenuhi luka memar dan sayatan.

"Dek?! Yaampun, kamu gapapa?!" ujar Arunika memegangi tangan yang terbalut sarung tangan satin berwarna hitam itu. Gadis yang ia perkirakan baru berumur 5 tahun itu memakai gaun merah panjang hingga memperlihatkan beberapa luka di lengannya. Gaunnya yang sedikit menyibak membuat luka memar di betisnya terlihat jelas. Tudung jubahnya yang merosot memperlihatkan wajah ayu yang tertutup luka dan rambutnya yang berwarna senada dengan gaunnya.

"Emh...Ro," gumam gadis kecil itu dengan lemah. Ia membalas genggaman Arunika, sebelum akhirnya pingsan dalam pangkuan Aru.

Aru dengan sigap menggendong gadis kecil itu ke dalam rumah melewati pintu belakang, ia tak terlalu kesusahan karena tubuh yang dibawa lumayan kurus. Ia lalu menidurkannya di sofa ruang keluarga dengan hati-hati, ia juga membuka jubah abu-abu yang dikenakan gadis itu.

"Astaghfirullah! Anak siapa itu, Runi?!" Suara Nenek mengejutkan Arunika sekali lagi, dirinya yang dilanda panik kebingungan memilih kata seketika.

"Ceritanya panjang, Nek! Pokoknya kita tolong dulu, ya? Bi Siti, tolong ambilkan handuk dan air hangat ya? Sekalian jika ada  pakaianku yang pas untuk anak ini, aku yang ambil kotak obatnya," pinta Aru pada Bu Siti di belakang Nenek. Sepertinya, Nenek dan Bi Siti baru pulang entah dari mana, hingga tidak sadar dengan kejadian tadi.

"Baik non!"

. . .

"Jadi, dia sebenarnya siapa, Runi?" Pertanyaan Nenek terlontar pada Arunika yang sedang memperhatikan gadis yang sedang diobati Bi Siti di sampingnya itu. Lagi-lagi ia menjadi kikuk karena ragu ingin menjawab jujur.

"Aku gatau, Nek. Tadi waktu aku di kamar ada yang ketuk pintu, terus abis itu aku buka. Kukira tamu, ternyata adek ini yang tiduran di teras dengan banyak luka kayak tadi. Karena aku kasihan yaudah aku bawa masuk deh," jawab Aru berbohong pada Neneknya. Ia mengelus surai merah milik gadis kecil yang tertidur di sampingnya itu, ia khawatir Nenek tidak percaya padanya. Oleh sebab itu, ia terpaksa berbohong pada Neneknya.

"Oh gitu, yaudah. Kita rawat dia di sini dulu sampai dia siuman. Setelah itu kita cari keluarganya, ya?"

"Baik, Nek. Oh iya, Bi Siti, Runi minta tolong lagi anak ini dipindah di kamar Runi aja buat istirahat. Sekalian Runi ada obat salep buat luka sayatnya di kamar," pinta Runi sekali lagi pada Bi Siti.

. . .

Sebenarnya ada yang membuat Arunika penasaran dengan gadis kecil yang ia tolong itu, sarung tangan satinnya tidak mau terlepas sama sekali. Hal itu membuat Bi Siti kewalahan saat akan membersihkan tubuhnya dari kotoran tadi. Ia kembali memegang tangan gadis itu, ia berusaha menarik kembali sarung tangannya sekuat tenaga. Namun usahanya tidak membuahkan hasil, tapi ia masih terus mencobanya. Hingga ia menyadari ada tombol kecil berwarna kecoklatan di pergelangan sarung tangan. Ia menarik sarung tangan sambil menekan tombol itu, alhasil ia terpental menabrak pintu kamarnya sendiri.

Brak!!

"Aduh!" teriak Aru mengaduh kesakitan. Suaranya cukup keras hingga Bi Siti mendengarnya dari luar kamar.

"Non Runi kenapa?!" teriak  Bi Siti dari dapur dengan keras.

"Gapapa, Bi Siti!"

Arunika bangkit dan mendekati ranjangnya lagi, kali ini ia berdecak kagum dengan apa yang ia lihat. Tangan gadis kecil yang tertutupi oleh sarung tangan itu berkilau, terdapat ornamen mirip Henna berwarna emas di punggung tangannya.

Mawa : Negeri Sejuta HukumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang