Prolog

1.2K 134 19
                                    

Baru prolognya aja, mau tes ombak dulu, hehehe. Kalau rame, bakal aku lanjut. Selamat membacaaa. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.😘




Perempuan berambut sebahu itu mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja, menghidupkan kembali suasana di dalam ruangan yang semula sunyi. Tatapan kosong ia arahkan pada sebuah kertas tebal berukiran tinta emas yang membentuk dua buah inisial nama dengan simbol love di tengah-tengah inisial tersebut.

Entah kenapa, hanya memandang nama tersebut, hatinya merenyut sakit. Seolah-olah ada batu besar yang menghantam dada. Perempuan itu mengambil undangan yang masih dibalut dengan plastik bening, lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping kubikel. Dia menutup wajah kusutnya dengan kedua tangan yang ditumpu pada meja.

Kacau. Satu kata tersebut cukup mewakilkan bagaimana keadaan perempuan berusia akhir dua puluhan itu. Bagai makan buah simalakama, dia harus memilih antara dua pilihan yang sama-sama memiliki konsekuensi. Namun, dirinya tak berani menghadapi konsekuensi tersebut.

"Mbak Dina! Mbak Dina!"

Suara yang begitu lantang hingga menggema di koridor kantor, membuat perempuan bernama Dina itu menurunkan telapak tangannya dan membuang pandangan ke arah pintu ruangan. Di sana, seorang perempuan berusia sekitar pertengahan dua puluhan tengah mengatur napasnya yang tersengal-sengal akibat berlari. Seraya mengatur napas, ia mengacungkan telunjuk ke arah lobi.

"Itu ... itu ...."

Tak sabaran, Dina segera berdiri dan menghampiri rekan kerjanya itu. "Ada apa, Lis?" tanyanya, menyiratkan kekhawatiran. "Coba tarik napas dulu, terus keluarkan pelan-pelan. Tenang." Saat perempuan yang dipanggil Lis itu sudah bisa mengontrol napasnya, Dina kembali mengajukan pertanyaan yang sama. "Ada apa?"

"Itu, Mbak. Ada ibu-ibu yang mengaku sebagai ibunya Mbak Dina. Beliau melabrak Pak Adnan di lobi."

"Apa?!"

Tanpa ba-bi-bu, Dina langsung berlari menuju depan perusahaan. Ujung sepatu hak tingginya yang beradu dengan lantai, menimbulkan suara yang begitu nyaring dan menggema di sepanjang koridor menuju lobi perusahaan.

Sesampainya di lobi, dia melihat beberapa karyawan yang sudah menenteng tas kerja masing-masing—bersiap pulang, berkerumun di satu titik, seperti semut-semut yang mengerumuni gula. Dina langsung menerobos kerumunan.

"Ibu!" Dina berlari menuju sang ibu dan segera melepaskan cengkeraman ibunya pada kerah kemeja Adnan. Dia berdiri di tengah-tengah perempuan paruh baya dan lelaki jangkung itu agar ibunya tidak bisa menyentuh Adnan. "Ibu apa-apaan, sih? Kenapa Ibu ada di sini? Ayo, pulang, Bu. Ibu bikin malu Dina tahu, enggak!" teriaknya, tepat di depan wajah sang ibu. Lantas, mencekal pergelangan tangan wanita paruh baya itu.

Wajah wanita paruh baya itu berubah pias seketika. Terkejut karena bentakan putri semata wayangnya itu. Ini pertama kalinya dia mendapat perlakuan kasar dari Dina, putri yang teramat disayanginya. Meski begitu, Ratri—wanita paruh baya itu—tetap tak bergeming. Dihempaskannya tangan sang putri yang mencekal pergelangan tangannya.

"Ibu enggak akan pergi sebelum memberi pelajaran pada laki-laki. Minggir kamu!" Ratri mendorong tubuh Dina hingga membuat perempuan itu hampir saja terjungkal. Segera, ditariknya kerah laki-laki di hadapannya yang tampaknya masih belum mengerti apa yang sedang terjadi. "Puas kamu sudah menghancurkan hidup anak saya, hah?! Dan sekarang kamu malah ketawa-ketiwi seolah-olah enggak ada dosa."

"Ada apa ini, Bu? Setidaknya, jelaskan apa yang terjadi supaya saya mengerti." Adnan terlihat putus asa. Dirinya pun tak mengerti alasan di balik perlakuan wanita paruh baya yang mengaku sebagai ibu Dina itu. Padahal, niatnya tadi ingin segera menemui sang pujaan hati sepulang dari kantor. Namun, saat akan menemui kekasihnya, seorang wanita menghampiri dan menanyakan apa dirinya yang bernama Adnan. Saat dia mengiakan, wanita itu justru langsung menampar, lalu mencengkeram kerahnya dengan tatapan yang berkilat penuh amarah.

"Jangan pura-pura enggak tahu kamu!" Ratri melepaskan cengkeramnnya dengan sedikit sentakan hingga hampir membuat Adnan terjerembap. "Setelah merusak anakku, kamu malah pura-pura lupa. Apa ini cara kamu buat lari dari tanggung jawab?" Dada wanita itu tampak naik turun, menahan amarah yang sudah bergelegak.

"Bu, ayo, kita pulang. Jangan mempermalukan keluarga kita di hadapan banyak orang." Dina memegang lengan sang ibu, berusaha meredakan emosi wanita setengah baya itu. Dia merasa tak enak hati dengan tatapan aneh yang dilayangkan oleh orang-orang di sekitarnya. Mau ditaruh mana mukanya kalau sampai seluruh karyawan di perusahaan itu tahu mengenai masalahnya.

Meski sempat terkejut, Adnan langsung bisa menguasai dirinya. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah Dina. Tatapannya yang begitu tajam dan menusuk, seketika menciutkan nyali perempuan itu. "Saya benar-benar tidak mengerti apa yang Ibu bicarakan," ujarnya pada Ratri.

"Kamu harus menikahi anakku! Dia sekarang sedang mengandung anak kamu!" teriaknya hingga menggelegar ke penjuru lobi dan menimbulkan bisik-bisik dari orang-orang sekitar yang menyaksikan pertunjukan tersebut.

"Bu!"

"Apa?"

***

Salam,

Myka Fadia

Love Us PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang