"Mbak."
Dina yang akan menggigit kue cubit sebagai makanan penutup, seketika menoleh ke arah samping saat seseorang menyenggol lengannya. Lisa—rekan kerja yang dua tahun lebih mudah darinya—mendekatkan wajah dan berbisik pelan, "Pak Adnan kenapa, ya, Mbak? Beberapa hari terakhir, aku lihat wajahnya muram gitu."
Mendengar nama Adnan disebut, Dina langsung mengarahkan pandangan ke arah laki-laki yang kini duduk di seberangnya. Lelaki itu terlihat mengaduk-aduk minumannya tanpa minat. Bahkan, makanan utama yang sejak sejam lalu dihidangkan, tak tersentuh sedikit pun.
"Bukannya Pak Adnan mau nikah, ya, Mbak? Apa ada masalah, ya, sama calonnya?"
Pertanyaan yang kembali terlontar dari mulut Lisa, membuat Dina kembali mengalihkan atensi kepada juniornya itu. "Udah. Enggak usah urusin hidupnya orang lain. Kalau mereka ada masalah, emangnya kamu mau bantuin?"
"Ya, enggak juga, sih, Mbak," sahut Lisa diakhiri dengan kekehan kecil.
Setelah Pak Deri—manajer tim pemasaran—pamit pulang terlebih dahulu, anggota tim pemasaran yang lain satu per satu beranjak dari restoran. Tak terkecuali Lisa yang sudah terburu-buru pulang karena sang kekasih menunggu di depan restoran. Wajarlah, malam Minggu merupakan kesempatan bagi anak muda untuk kencan. Namun, karena ada makan malam bersama tim, waktu kencan Lisa harus terpotong. Jadi, dia lekas pergi tanpa menunggu Dina terlebih dahulu.
Dina akan bangkit dari kursi saat Adnan yang masih belum beringsut, memanggil namanya. Lelaki itu mendengak, menatapnya dengan tatapan sendu. "Din, kamu ada waktu enggak malam ini?"
Mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut Adnan, membuat Dina mengernyitkan alis, bingung. "Memangnya kenapa, Pak?"
"Mau enggak, kamu temani saya ke suatu tempat?"
***
Perempuan dalam balutan kemeja denim lengan panjang dan celana denim itu meliarkan pandangan ke seluruh ruangan yang terlihat remang-remang itu. Beberapa lampu warna-warni dipasang di beberapa sudut dan menyorot ke arah lantai dansa, sementara bola lampu berukuran cukup besar menggantung di tengah-tengah lantai dansa.
Kendati sudah sering ke tempat itu untuk sekadar melepas penat, Dina tetap tak menyangka kalau Adnan akan mengajaknya ke sana. Netra hitam perempuan itu kembali terpaku pada lelaki yang tampak menikmati cairan bening dalam gelas sloki. Kalau kalian mengira itu adalah air putih, kalian salah. Air putih tidak akan membuat orang yang mengonsumsinya teler, seperti yang terjadi pada Adnan sekarang. Lelaki berambut cepak dengan sedikit cambang yang menghiasi pipi itu terlihat tidak fokus dan bicaranya pun mulai melantur.
"Bapak udah mabuk. Saya antar pulang, ya," tawar Dina setelah terkungkung dalam kebisuan sejak sejam yang lalu.
"Saya belum mabuk. Saya masih kuat minum beberapa botol lagi," Adnan menyahut seraya menuangkan vodka di dalam botol ke gelas sloki yang isinya sudah ia tenggak beberapa detik lalu. "Kamu mau minum juga?" Dia menyodorkan botol berisi minuman keras dengan kadar alkohol tinggi itu pada Dina.
"Tidak, Pak," tolak Dina secara halus. "Kalau saya mabuk, bisa-bisa saya dibantai ibu saya sesampainya di rumah."
Mendengar hal itu, tanpa sadar Adnan menyunggingkan senyum tipis. Dia meletakkan botol vodka itu di atas meja bar, kemudian meraih botol sloki yang sudah terisi penuh dan menghabiskan isinya dalam satu kali tenggak.
Dina hanya mengernyit melihatnya. Bisa-bisanya, lelaki itu terlihat biasa saja setelah menenggak minuman keras dengan kadar alkohol tinggi itu.
"Din?" panggil Adnan dengan suara sedikit keras, berusaha mengalahkan suara musik yang mengentak-entak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Us Please
General Fiction[PREKUEL THE BAD GIRL'S BABY) Kehamilan yang disebabkan oleh kesalahannya, membuat Dina Ayu Setyawati harus menikah dengan Adnan Widjanarko, seorang lelaki yang masih berstatus sebagai calon suami perempuan lain. Rasa cinta yang menggebu-gebu telah...