"Berita selanjutnya. Pesawat Garuda Indonesia Airbus A300-B4 dengan nomor penerbangan GA 152 jatuh terbakar di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kapubaten Deli Serdang, Sumatera Utara pada Jumat siang, 26 September 1997. Pesawat tujuan Jakarta—Medan ini mengangkut 222 penumpang dan 12 awak pesawat. Pesawat ini hilang kontak pada ...."
Televisi tabung berukuran 14 inci itu menampilkan siaran berita mengenai jatuhnya sebuah pesawat. Namun, tampaknya laki-laki baya yang duduk di depan televisi itu tak terlalu menyimak siaran berita tersebut karena kelimpungan mencari sesuatu. Matanya mengedar ke seluruh penjuru ruang tamu sekaligus ruang televisi itu. Sesekali, dia melongok ke bawah kolong meja atau kursi untuk mencari benda tersebut.
"Cari apa, Pak?" Ratri yang risi melihat sang suami mondar-mandir di ruang tamu pun akhirnya melontar tanya. Ruang makan tempatnya berada sekarang memang dekat dengan ruang tamu, bahkan tak disekat oleh apa pun, jadi dia bisa melihat aktivitas sang suami dengan jelas.
"Kacamata," jawab Arif tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ratri, masih sibuk mencari-cari.
Ratri mendesah pelan, kemudian menunjuk kepala Arif menggunakan dagunya. "Lha itu di atas kepala Bapak, apa namanya coba kalau bukan kacamata?"
Mendengar itu, Arif langsung meraba atas kepalanya yang sudah dipenuhi uban itu. Benda yang sejak beberapa menit lalu membuat ia kelimpungan, ternyata bertengger di atas kepalanya. Bisa-bisanya dia tak sadar.
"Bapak udah pikun, ya?" ejek wanita setengah baya itu sambil terkekeh geli. "Sini, Pak. Sarapannya udah siap, nih. Ibu buatin semur jengkol kesukaan Bapak."
Raut wajah lelaki berusia enam puluhan itu berubah semringah. Segera, dia mematikan televisi dan beranjak menuju meja makan yang dikelilingi lima kursi tersebut. Arif mengempaskan pantatnya di atas kursi yang berada di ujung meja. Matanya berbinar melihat semangkuk penuh semur jengkol, sepiring tahu tempe, dan sebakul nasi yang masih menguarkan asap.
Tak berapa lama, Dina yang sudah rapi dalam balutan kemeja biru lengan pendek dan rok hitam selutut, keluar dari kamar. Perempuan dengan potongan rambut sebahu itu berjalan menuju meja makan, hendak bergabung bersama kedua orang tuanya. Namun, saat hampir sampai, langkahnya terhenti. Buru-buru, ia menutup mulut dan hidung saat bau menyengat yang berasal dari meja makan merangsek ke dalam indra penciumannya. Mual seketika mengaduk-aduk perutnya yang masih kosong itu.
"Ibu masak apa, sih?" tanyanya seraya menahan mual. Kendati demikian, dia tetap mendekati meja makan, sekadar mengambil air minum.
"Semur jengkol," sahut Ratri seraya menyodorkan sepiring nasi beserta jengkol, tahu, dan tempe ke arah suaminya yang sudah menelan ludah berkali-kali sejak tadi.
"Pagi-pagi udah makan semur jengkol. Bau tahu, Bu. Ibu mau aku dijauhi rekan kerjaku gara-gara mulut bau jengkol?"
"Halah, biasanya juga sarapan makan semur jengkol. Enggak usah sok-sokan kayak anak orang kaya kamu. Sini, cepetan sarapan. Keburu telat nanti kamu."
"Enggak usah. Aku makan di luar aja." Dina kemudian meneguk air putih yang sudah dituangnya ke dalam gelas.
"Din, Tjandra, kok, enggak pernah main ke sini lagi?"
Mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut sang ayah, Dina langsung terbatuk-batuk karena tersedak. Dia menebah dada, berusaha meredam sakit akibat tersedak tadi. Setelah itu, pandangannya ia pusatkan pada sang ayah. "Bapak lupa, ya, aku sama Koh Tjandra kan udah putus sejak lima tahun lalu. Bapak sengaja, ya, nyindir aku biar cepet-cepet cari pacar lagi dan nikah?"
Dina menunggu respons Arif, tetapi lelaki baya itu terlihat mengernyitkan dahi, seolah-olah bingung dengan perkataan putrinya barusan.
"Bapak sama aja kayak Ibu. Kalian kayak udah enek lihat aku, makanya nyuruh cepet-cepet nikah. Bapak sama ibu tenang aja, aku bakal nikah dan segera keluar dari rumah ini biar enggak jadi beban buat kalian." Perempuan itu melirik sekilas ke arah Ratri yang tampak santai menyantap makanannya, seolah-olah tak mendengar perkataan Dina barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Us Please
General Fiction[PREKUEL THE BAD GIRL'S BABY) Kehamilan yang disebabkan oleh kesalahannya, membuat Dina Ayu Setyawati harus menikah dengan Adnan Widjanarko, seorang lelaki yang masih berstatus sebagai calon suami perempuan lain. Rasa cinta yang menggebu-gebu telah...