Bagian 5

432 59 6
                                    

"Aku udah di depan kantor kamu, Mas." Aliyah menunduk, menatap kakinya yang dibalut dengan high heels setinggi lima sentimeter yang sedang memainkan kerikil kecil. Dia kemudian membuang pandangan ke arah jalanan depan perusahaan kosmetik terkenal itu, memandang lalu-lalang kendaraan di depan sana.

"Lho? Kamu ada di depan?" Suara di seberang tampak terkejut, membuat seulas senyum terbit di bibir merahnya. "Astaga, aku kan, bisa jemput ke tempat kerja kamu. Naik apa tadi?"

"Naik ojek. Buruan keluar. Udah kangen, nih," ucapnya dengan suara yang sengaja dimanja-manjakan. Sebenarnya, dia sendiri geli mendengar suara manjanya. Namun, mau bagaimana lagi? Dia benar-benar merindukan Adnan. Tiga hari tidak bertemu karena kesibukan masing-masing, membuat rindunya semakin menggebu.

"Iya, ya. Bentar, ya. Aku habis sebar undangan ke rekan kerja. Tunggu bentar, ya, Sayang."

Senyum perempuan itu semakin merekah mendengar panggilan sayang yang dilayangkan oleh sang tunangan. Aliyah terlihat begitu bahagia hari ini. Apalagi, Adnan bersedia meluangkan waktu untuk menemaninya meninjau gedung tempat mereka akan melakukan resepsi. Sejak kejadian beberapa minggu lalu, tunangannya itu semakin peduli dengan persiapan acara pernikahan mereka, sekalipun menyangkut hal-hal kecil.

"Maaf, Neng, mau tanya." Seorang ibu-ibu yang Aliyah taksir berusia sekitar empat puluhan akhir, menghampirinya sesaat setelah ia memutuskan sambungan telepon.

"Iya, Bu?" tanyanya dengan senyum yang terpatri di bibir. Beberapa tahun bekerja menjadi customer service di sebuah bank ternama, membuat perempuan 28 tahun itu terbiasa bersikap ramah dengan siapa pun.

"Neng kenal tidak sama laki-laki yang namanya Adnan? Katanya, dia karyawan di bagian pemasaran."

Mulut Aliyah sudah terbuka, ingin menjawab pertanyaan ibu itu. Namun, suaranya tertahan oleh panggilan Adnan yang keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Dia tersenyum semringah dan membalas lambaian sang kekasih.

"Ada apa, Yang?" Adnan langsung melontar tanya setelah sudah ada di samping Aliyah. Pandangannya tertuju pada ibu-ibu di hadapan Aliyah yang tampak kebingungan.

"Ibu ini cari laki-laki namanya Adnan dari Tim Pemasaran. Mas kenal enggak? Mas juga dari Tim Pemasaran, kan? Kalau dipikir-pikir, namanya juga sama seperti Mas."

Adnan terdiam. Setelah dipikir-pikir, nama Adnan di Tim Pemasaran hanya dirinya. Namun, dia sama sekali tidak mengenal wanita paruh baya itu. Mungkinkah ibu itu mencarinya untuk komplain seperti masalah sebulan lalu?

Tak ingin sibuk menerka-nerka, lelaki jangkung itu pun langsung menanyakan maksud ibu tersebut. "Nama Adnan di Tim Pemasaran hanya saya, Bu. Memangnya, ada perlu apa Ibu mencari saya?" tanyanya, berusaha terlihat seramah mungkin.

Berbeda dengan Adnan, air muka Ratri justru berubah sangar dengan tatapan tajam tertuju pada laki-laki di hadapannya. "Kamu kenal dengan Dina, 'kan?" tanyanya dengan suara yang terdengar dingin.

"I ... ya. Dia bawahan saya. Kenap—"

Plak!

Tanpa ba-bi-bu, Ratri melayangkan tamparan ke pipi Adnan, membuat laki-laki itu membeliakkan mata. Tak hanya Adnan, Aliyah yang berada di dekat mereka pun tak kalah terkejut, bahkan sampai menutup mulutnya yang ternganga.

"Jadi, kamu yang namanya Adnan? Laki-laki yang sudah merusak anak saya?" Ratri mencengkeram kerah kemeja Adnan sedikit kasar hingga hampir membuat lelaki itu terjungkal.

"Ibu ini ibunya Dina?"

"Ya! Saya ibunya Dina. Perempuan yang sudah kamu rusak hidupnya!"

Adnan melirik Aliyah yang sepertinya terkejut juga bingung mendengar penuturan Ratri. "Sayang, ini enggak seperti yang kamu pikirkan. Ibu ini pasti salah orang."

Love Us PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang