Bagian 10

142 19 3
                                    

Yuk, ramaikan cerita versi Dina dan Adnan muda ini. Semoga suka, ya. Yah, meskipun ending-nya udah bisa ketebak.










"Huek! Huek!"

Dina bergegas turun dari pembaringan, kemudian keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di sebelah dapur. Baru saja terbangun, isi di dalam perutnya terasa diaduk-aduk dan meronta-ronta ingin segera dikeluarkan.

Setibanya di dalam kamar mandi, dia langsung mengeluarkan isi perutnya yang hanya berupa cairan bening ke wastafel. Meski hanya mengeluarkan cairan bening, tetapi kakinya terasa lemas hingga tak bisa menahan bobot tubuh. Tenaganya terasa terkuras habis.

Tubuh perempuan hamil itu merosot ke lantai kamar mandi yang terasa dingin. Apalagi, ini masih pagi buta. Udara pagi yang begitu dingin berhasil merasuk ke dalam tulang belulang, membuatnya menggigil detik itu juga. Namun, dia tak dapat berdiri karena terlalu lemas.

"Din, ngapain di dalam kamar mandi?" Suara Adnan dari luar kamar mandi disertai dengan ketukan, membuat Dina mengalihkan atensi ke arah pintu. "Buruan, dong. Saya mau mandi, nih. Udah telat."

"Iya, sebentar, Mas," jawab Dina dengan suara parau.

Setelah merasa sedikit tenaganya telah kembali, perempuan berkulit kuning langsat itu bangkit dengan berpegangan pada tepi wastafel. Walaupun awalnya sedikit kesulitan, akhirnya dia bisa berdiri juga.

"Kamu ngapain aja, sih, di dalam? Lama banget," semprot Adnan begitu pintu kamar mandi dibuka dari dalam. Dia akan mengeluarkan omelan lagi, tetapi begitu melihat wajah pucat sang istri, bibirnya terkatup kembali. "Wajah kamu pucat banget. Kamu enggak pa-pa, kan?"

Dina tersenyum tipis sambil menggeleng. Tenaga yang terasa hilang tadi, langsung kembali seluruhnya ketika melihat raut wajah sang suami yang tampak begitu khawatir. "Aku enggak pa-pa, kok, Mas. Cuma mual aja. Makasih, ya, udah khawatirin aku."

Tersadar kalau pertanyaannya tadi menyiratkan kekhawatiran, Adnan langsung berdeham. Seketika itu, raut wajahnya berubah dingin. Tanpa mengatakan apa pun lagi, dia menyelonong masuk ke kamar mandi, meninggalkan sang istri yang hanya mesem-mesem sendiri.

***

"Mas, sarapan, yuk. Aku udah masak buat kamu," ucap Dina seraya menyunggingkan senyum simpul saat melihat Adnan baru saja keluar dari kamarnya.

Meskipun harus menahan mual sepanjang memasak, akhirnya Dina berhasil menyuguhkan tumis kangkung dan lauk pelengkap seperti tempe goreng dan telur dadar. Dia merasa bangga karena bisa memasak menu sederhana tersebut, walau harus melihat buku resep terlebih dahulu.

Di umurnya yang ke-29 akhir, perempuan itu baru belajar memasak. Selama ini, dia tidak pernah sekali pun memegang peralatan masak. Masuk dapur saja sangat jarang, kecuali untuk mengambil alat makan. Namun, setelah menikah, Dina bertekad untuk menyuguhkan masakan rumahan yang enak untuk sang suami.

Adnan melirik hidangan di meja makan, kemudian beralih menatap Dina sekilas. "Enggak usah. Saya beli di luar aja," jawabnya sebelum mengayunkan kaki menuju pintu.

Namun, suara sang istri menghentikan kakinya yang baru melangkah.

"Kenapa sarapan di luar, Mas? Lagi pula, ini masih jam enam pagi. Masih ada waktu sebelum jam masuk kantor."

"Saya enggak terbiasa sarapan. Nanti aja makannya pas jam makan siang," Adnan membalas tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

Dina berjalan menghampiri Adnan dengan rasa dongkol yang mulai menguasai hatinya. "Kenapa, sih, kamu enggak mau hargain perjuanganku sedikit aja, Mas? Aku udah nahan mual dari tadi buat masakin kamu. Tapi, kamu bahkan enggak mau nyentuh masakanku sedikit pun. Mungkin, kalau yang masak Aliyah, kamu enggak bakal nolak kayak gini."

Adnan berbalik, menatap tajam perempuan yang berdiri di hadapannya. "Jangan pernah nyebut namanya!" sergahnya dengan kedua tangan yang terkepal erat. Wajahnya terlihat memerah dengan rahang yang mengeras.

Suara Adnan yang cukup keras itu membuat Dina berjengit kaget. Namun, perempuan itu berusaha menyembunyikan keterkejutannya, meski jantung berdetak cepat karena mendengar bentakan sang suami.

"Kenapa aku enggak boleh nyebut namanya? Apa aku terlalu hina buat nyebut nama wanita yang kamu cintai itu, ha?!" Suara Dina naik satu oktaf, tak ingin terlihat terintimidasi.

"Cukup, Din! Saya enggak mau bikin keributan pagi-pagi begini hanya karena masalah sepele. Besok dan seterusnya, kamu enggak perlu masakin saya lagi. Saya enggak pernah nyuruh kamu buat masak. Kamu masak aja buat dirimu sendiri. Ngerti?!"

Adnan langsung melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Dina yang menyorot kepergiannya dengan tatapan kecewa.

Selalu saja seperti ini. Bermula dari masalah sepele, mereka menjadi bertengkar hebat. Padahal, keduanya baru melangsungkan pernikahan kemarin. Namun, dalam sehari pernikahan, mereka sudah bertengkar hebat sebanyak dua kali. Semuanya hanya karena masalah sepele yang terlalu dibesar-besarkan.

Mungkin, bagi Adnan semua itu hanya masalah sepele, tetapi tidak bagi Dina. Mulai dari ayah mertua yang mencaci maki dirinya hingga masakan yang tidak disentuh sedikit pun oleh sang suami, padahal sudah bersusah payah memasaknya. Semua itu bukan masalah yang bisa dianggap sepele.

Baru sehari menikah, Dina merasa tidak ada kecocokan dengan Adnan. Oleh karena itu, rumah tangga mereka selalu dipenuhi dengan pertengkaran. Rumah seolah terasa panas karena dua penghuninya saling melempar amarah tanpa ada yang mau mengalah.

Meskipun begitu, entah kenapa Dina masih tetap masih mencintai Adnan dan bertekad untuk membuat lelaki itu takluk padanya.


****


Part ini memang pendek, ya. Part selanjutnya insyaallah di-up nanti malam atau besok kalau enggak ada halangan, ya.

Love Us PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang