Bagian 9

139 20 6
                                    

Happy reading. Jangan lupa vote dan comment-nya, yaaa.😘😘😘





"Kenapa kamu tega melakukan ini pada anak kami?" Fadjar—ayah Aliyah—menatap mantan kekasih sang putri yang duduk di seberangnya dengan sorot tajam dan penuh kekecewaan. "Apa kurangnya Aliyah sampai kamu mencarinya di perempuan lain, ha?!"

Fadjar masih sulit memercayai penjelasan Adnan mengenai alasan batalnya pernikahan sang putri dengan lelaki itu yang sudah ada di depan mata. Pantas saja, Aliyah tidak mau menerima Adnan kembali.

Jikalau pun putri semata wayangnya memberi kesempatan lagi untuk Adnan, dia tidak akan setuju. Ayah mana yang akan membiarkan putri kesayangannya menikah dengan lelaki berengsek? Belum menikah saja sudah berani selingkuh, bagaimana jika sudah menikah nanti?

Adnan menjatuhkan lututnya di atas lantai, bersimpuh di hadapan Aliyah dan kedua orang tuanya yang duduk berjajar di sofa panjang. Wajah lelaki itu terlihat lebam dan membiru di beberapa titik setelah mendapat bogeman bertubi-tubi dari Fadjar beberapa saat lalu, tepat ketika dirinya dan sang ayah baru menginjakkan kaki di rumah itu.

Beruntung, Aliyah segera menghentikan aksi brutal ayahnya. Kalau tidak, mungkin sekarang dirinya sudah dibawa ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri.

Dengan kepala tertunduk dalam, Adnan berkata, "Maafkan saya Om, Tante. Saya tidak pantas untuk membela diri karena tahu perbuatan saya memang salah. Maafkan kekhilafan saya."

"Khilaf kamu bilang?!" Poespa—ibu Aliyah—yang sedari tadi hanya diam, kini dengan lantang membuka suara.

Dia tidak terima putri kesayangannya diperlakukan seperti ini. Marah, kecewa, malu. Semua rasa itu bergumul menjadi satu, membuat sesak di dalam dada kian menjadi.

"Kamu tahu, karena kekhilafan yang kamu lakukan itu, perasaan putri saya hancur. Saya dan ayahnya Aliyah juga harus menanggung malu karena tiba-tiba membatalkan pernikahan anak kami yang persiapannya sudah 95% rampung. Lalu, dengan tidak tahu malunya, kamu bilang khilaf?!

Aliyah merangkul sang ibu sambil mengusap-usap lengannya, berusaha untuk menenangkan. Dia tahu hari ini cepat atau lambat akan tiba. Hari di mana Adnan menerima kemurkaan orang tuanya karena telah bermain api hingga membuat pernikahan yang telah mereka siapkan sedemikian rupa batal begitu saja.

"Nak Aliyah, Pak Fadjar, Bu Poespa, saya sebagai ayah Adnan, meminta maaf sebesar-besarnya atas kesalahan anak saya. Ini salah saya karena gagal mendidik Adnan dengan baik. Sebenarnya, saya malu untuk datang ke sini. Rasanya, saya sudah tidak punya muka untuk bertemu kalian.

"Namun, sebagai orang yang beradab dan berilmu, saya wajib meminta maaf kepada kalian atas kesalahan putra saya. Saya juga merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Pernikahan anak kita sudah batal dan Nak Aliyah tidak mau memberikan kesempatan untuk Adnan. Sementara itu, Adnan sudah menikahi perempuan yang sudah dihamilinya. Semua ini di luar kehendak saya. Tapi, saya akan melakukan apa pun agar kalian mau memaafkan kami."

"Tidak perlu melakukan apa pun, Pak Widjanarko. Selamanya, kami tidak akan pernah melupakan dan memaafkan perbuatan bejat anak Bapak!"

***

Dina berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali, matanya melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah lewat tengah malam, tetapi Adnan dan ayah mertuanya belum juga pulang.

Perempuan itu berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif yang sedari tadi bersarang di benak kepalanya. Dia takut terjadi sesuatu kepada mereka.

Tak lama kemudian, pintu utama terbuka, menampilkan wajah kuyu Adnan yang babak belur.

Dina segera menghampiri Adnan. Memperhatikan wajah sang suami yang penuh dengan lebam. Tanpa bertanya, dia sudah tahu apa yang terjadi. Lelaki itu pasti dihajar habis-habisan oleh orang tua Aliyah.

Jika ada di posisi Aliyah, mungkin orang tuanya akan melakukan hal serupa. Terlebih lagi, sang ibu yang sangat brutal dan tak tahu malu.

"Kamu udah pulang, Mas? Udah makan? Aku tadi udah masak. Cuma masak nasi goreng aja, sih. Aku ambilin, ya," tawarnya. Dia tak mau menanyakan apa yang terjadi di rumah Aliyah tadi. Biarlah itu menjadi masalah Adnan.

"Enggak perlu. Saya capek, mau langsung istirahat aja," jawab Adnan sambil berlalu meninggalkan Dina menuju kamarnya.

"Ayah kamu mana, Mas? Enggak ikut ke sini?" tanya Dina yang baru menyadari ketidakhadiran ayah mertuanya.

"Ayah udah balik ke Surabaya. Ada urusan penting katanya."

"Mas?"

Tangan Adnan yang akan memutar kenop pintu terhenti ketika mendengar panggilan dari sang istri. "Hm?" balasnya tanpa membalikkan badan.

"Tadi, kamu sama ayahmu mampir ke rumah orang tuaku, enggak?"

Adnan mengembuskan napas berat, lalu berbalik dan menatap Dina dengan raut datar, seolah enggan menanggapi perempuan itu. "Enggak. Kenapa emangnya?"

"Orang tuaku sama ayah kamu kan belum pernah ketemu sekali pun. Mereka udah besanan sekarang, masa—"

"Emang sepenting itu, ya, mereka harus ketemu? Toh, pernikahan ini juga enggak pernah diharapkan," potong Adnan cepat. "Udah, ya. Saya mau istirahat. Saya bener-bener capek karena hari ini banyak masalah."

Dengan langkah tergesa, Dina menghampiri Adnan yang sudah membuka pintu kamar dan langsung mencekal tangannya. "Aku belum selesai bicara, Mas."

"Apa lagi, sih, Din? Please, deh, jangan bikin keributan di hari pertama pernikahan kita. Saya males berdebat."

"Aku cuma mau nanya sesuatu, Mas. Kenapa tadi kamu enggak belain aku di depan ayah kamu? Kenapa kamu diam aja saat ayah kamu menghinaku? Kamu juga setuju dengan perkataan ayah kamu?"

"Kenapa, sih, masalah sepele dibesar-besarkan? Enggak penting tahu, enggak!" sergah Adnan seraya menyentak tangan Aliyah.

"Penting buat aku, Mas! Aku enggak terima, ya, diperlakukan sehina dan serendah itu sama ayah kamu. Aku juga putri yang berharga bagi orang tuaku. Enggak sepantasnya, ayah kamu ngatain aku kayak tadi!"

"Terus, perempuan yang secara terang-terangan menggoda calon suami orang lain dan sengaja hamil untuk dinikahi apa itu namanya kalau bukan murahan?"

"Tapi, kamu sendiri juga tergoda, kan? Kamu sama aja kayak aku, Mas. Enggak ada bedanya! Enggak pantas kamu menghakimiku! Kamu itu enggak lebih dari laki-laki berengsek tukang selingkuh."

Adnan mengepalkan tangan kuat-kuat. Wajahnya memerah, menahan geram. Sorot matanya begitu tajam menatap Dina.

Alih-alih terintimidasi, Dina justru menatap balik sang suami. "Kenapa? Kamu marah? Enggak terima sama ucapanku tadi? Kalau kamu enggak mau dihina, harusnya jangan lakuin itu ke orang lain," pungkas perempuan itu dengan suara bergetar, lantas berlalu menuju kamarnya tanpa menunggu respons Adnan.

Tepat ketika pintu kamar ditutup, tangis Dina langsung pecah. Sebenarnya, dia tidak sekuat itu menerima hinaan yang sangat kejam tersebut. Apalagi, hinaan itu dilontarkan oleh lelaki yang dicintainya. Namun, dia harus memasang topeng, berpura-pura kuat agar tidak mudah tertindas.

Apakah dia akan sanggup hidup dengan laki-laki itu? Konon, hubungan akan langgeng jika pihak laki-laki yang menaruh cinta paling besar dibandingkan pihak perempuan. Akan tetapi, Dina menghadapi situasi sebaliknya. Bahkan, laki-laki yang menikahinya tak pernah sedikit pun menaruh rasa padanya.

Baru hari pertama menikah saja sudah bertengkar hebat, bagaimana dengan hari-hari selanjutnya? Seumur hidup terlalu lama bagi cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Love Us PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang