Bagian 11

166 19 1
                                    

Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar, ya, biar aku makin semangat nulisnya.







Entah sudah keberapa kali Aliyah mengembuskan napas berat hari ini. Bagaimana tidak, nasabah yang menyimpan uang mereka di bank tempat bekerja berbondong-bondong melakukan penarikan uang secara besar-besaran.

Mereka mungkin takut jikalau uang yang disimpan di bank akan lenyap begitu saja karena krisis ekonomi yang saat ini melanda Indonesia. Pasalnya, karena nilai tukar rupiah terhadap dolar sangat rendah sehingga mengakibatkan para debitur tidak membayar utang mereka.

Aliyah merasa capek menghadapi kondisi seperti ini setiap harinya. Dia berharap semoga krisis ini segera berakhir. Cukup kehidupannya saja yang menghadapi krisis, jangan sampai perekonomian Indonesia juga mengalami krisis.

Rasa lelah perempuan yang terlihat lebih cantik dengan rambut digelung rapi itu bertambah berkali-kali lipat ketika melihat seorang lelaki berdiri dengan bersandar mobil Honda Civiv Ferio miliknya.

Bibir lelaki itu merekahkan senyum saat matanya bertemu pandang dengan mata Aliyah. Dia melambaikan tangan seraya menghampiri sang kekasih—ralat, mantan kekasih.

Akan tetapi, Aliyah justru melengos, berjalan menuju motornya yang terparkir tak jauh dari mobil Adnan. Dia sudah cukup muak melihat lelaki itu sebulan terakhir.

Seolah kegigihannya tidak ada habisnya, Adnan selalu pergi ke tempat kerja Aliyah selepas pulang dari kantor, meski perempuan itu enggan bertemu dan berbicara dengannya lagi.

"Al." Adnan mencekal pergelangan tangan Aliyah, membuat perempuan itu mengembuskan napas berat sebelum akhirnya berbalik.

"Ada apa lagi, sih, Mas? Aku kan udah peringatin kamu buat enggak dateng lagi ke tempat kerjaku." Dari nada bicaranya, Aliyah terlihat lelah menghadapi sifat Adnan yang begitu keras kepala.

"Kalau di tempat lain, boleh berarti, ya?" tanya Adnan sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Sama aja enggak boleh. Di mana pun itu, jangan pernah temui aku," balasnya tajam seraya menyentak tangan Adnan. Namun, lelaki itu justru semakin kuat menggenggam tangannya.

"Aku mau bicara sama kamu, Al. Sebentar aja, ya. Kita ngobrol sambil makan. Udah lama banget kita enggak pernah makan bareng," pinta lelaki jangkung itu dengan tatapan memohon.

Aliyah mengembuskan napas berat. "Sadar, Mas. Kita itu udah putus dan enggak ada hubungan apa pun lagi. Kalau kamu mau makan, ajak aja istri kamu itu."

"Terakhir kali ini aja, Al. Aku mohon, ya?"

Karena tak tega lelaki itu terus memohon-mohon padanya, akhirnya Aliyah menyanggupi permintaan Adnan untuk berbicara sejenak. Dan di sinilah mereka sekarang, di sebuah kafe dekat dengan tempat kerja Aliyah.

Kebisuan mengungkung keduanya sejak tiba di kafe tersebut sepuluh menit yang lalu. Bahkan, saat pesanan mereka sudah datang, belum ada kalimat yang terucap. Baik Aliyah maupun Adnan tampak sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing. Dua insan manusia yang dulunya saling cinta itu, kini menjadi asing.

Tiba-tiba saja, Adnan meraih tangan Aliyah yang berada di atas meja. Perempuan itu menarik tangannya, berusaha lepas, tetapi dia justru mengeratkan genggaman. "Aku masih sayang sama kamu, Al. Gimana kalau aku ceraiin aja wanita itu setelah melahirkan? Terus, aku nikah sama kamu? Kamu mau, kan, nikah sama aku? Kita mulai semuanya dari awal."

Love Us PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang