Bagian 12

277 21 1
                                    

Sepi banget, ya, lapak ini😂 Ramein, dong😘

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Vote dan comment-nya, Kakak. Happy reading.🥰

 

"Ngapain kamu ke sini?"

Dina mencebikkan bibir setelah mendengar pertanyaan itu terlontar dari bibir Ratri. Hari Minggu ini, dia memang menyempatkan untuk berkunjung ke rumah orang tuanya. Sejak menikah sebulan lalu, dia belum pernah bertandang ke sini.

"Emangnya, aku enggak boleh main ke rumahku sendiri?" tanyanya retorik sambil menyerahkan bingkisan sembako ke sang ibu, kemudian mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

Ratri menerima bingkisan tersebut, kemudian berjalan masuk menuju dapur. "Ini rumahnya bapak sama ibu, bukan rumah kamu. Rumah kamu, ya, yang ditempati sekarang."

Dina mengekori langkah Ratri. "Tapi, ini juga rumahku, Bu. Aku tumbuh dari kecil hingga dewasa di rumah ini dan terlalu banyak kenangan di sini," ucapnya, lalu celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. "Bapak mana, Bu?"

"Ada tuh di belakang, enggak tahu lagi ngapain," jawab Ratri sambil meletakkan bingkisan dari sang putri di atas meja makan.

Senyum Dina langsung merekah. Dia akan beranjak menuju halaman belakang untuk menemui sang ayah, tetapi pertanyaan Ratri menghentikan langkahnya.

"Kamu enggak ada masalah sama Adnan, kan? Kok, tumben main ke rumah?" Ratri melayangkan tatapan penuh selidik.

"Enggak ada, Bu. Kami baik-baik aja, kok. Aku ke sini murni karena keinginan sendiri, bukan karena ada masalah sama Mas Adnan."

"Terus, kenapa Adnan enggak ikutan kemari?"

"Mas Adnan lagi ada urusan, Bu," jawab Dina, memberi alasan. Dia tak sepenuhnya bohong karena Adnan memang selalu pergi ke luar setiap libur, entah apa yang dilakukan lelaki itu di luar sana.

Dia sudah berusaha mengajak Adnan untuk berkunjung ke rumah orang tuanya, tetapi sang suami beralasan tidak bisa dan hanya menitip salam saja.

"Urusan apa? Sekarang kan hari Minggu, kantor juga libur. Emang alasan aja enggak mau ke rumah kecil dan jelek gini. Dia juga enggak pernah bawa ayahnya kemari. Mungkin, enggak mau kalau ayahnya yang anggota dewan itu menginjakkan kaki di rumah jelek ini."

"Jangan suuzan gitu, Bu."

"Ingat, ya, Din, sebesar apa pun masalah rumah tanggamu, jangan pernah dibawa keluar. Apalagi, diceritain sama orang tua. Kami ini udah banyak menderita, jangan ditambahi lagi sama masalah kalian."

"Iya, iya, Bu. Aku enggak bakal berbagi masalahku sama kalian. Bakal aku simpen dan selesaiin sendiri." Dina menyunggingkan seulas senyum, berusaha meyakinkan sang ibu bahwa rumah tangganya baik-baik saja. "Udah, kan? Aku mau nemuin bapak."

"Pikunnya bapakmu makin hari makin parah, Din," ucap Ratri tiba-tiba, membuat Dina kembali mengurungkan niatnya untuk beranjak.

"Parah gimana, Bu?"

"Seminggu yang lalu, bapak enggak pernah mandi selama beberapa hari. Pas ibu tanya, kenapa enggak pernah mandi? Eh, jawabnya enggak tahu apa itu mandi dan enggak tahu caranya. Akhirnya, setiap pagi dan sore, ibu yang selalu mandiin bapak. Makin lama, bapak makin kayak anak kecil."

Mendengar itu, rasa iba dan sesal meraksasa dalam hati Dina. Iba karena laki-laki yang dulunya kekar dan tangguh, kini lemah tak berdaya seperti anak kecil polos yang tak tahu apa-apa. Menyesal karena tidak bisa merawat sang ayah yang sedang sakit.

"Separah itu kondisi bapak, Bu? Udah dibawa ke dokter lagi?"

"Belum. Uang dari mana coba?" jawab Ratri sedikit sewot. "Lagi pula, kata dokter, pikunnya bapakmu tuh enggak mungkin bisa sembuh."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love Us PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang