Bagian 8

148 22 2
                                    

Jangan lupa vote dan comment-nya, yaaa.😘😘😘 Happy reading!!!

















"Saya terima nikah dan kawinnya Dina Ayu Setyawati binti Arif Rijadi dengan maskawin berupa emas satu gram dibayar tunai!" Adnan mengucap kabul di depan penghulu dengan lantang, meski dua kali salah menyebut nama mempelai wanita sebelumnya.

"Sah?" tanya Bapak Penghulu yang sudah dipasrahkan oleh Arif selaku wali nikah untuk menikahkan putrinya.

"Sah!" Saksi-saksi dengan nyaring mengesahkan pernikahan kedua mempelai itu. Dengan begitu, detik ini, Adnan dan Dina resmi menjadi sepasang suami istri.

Akad nikah itu digelar secara sederhana di rumah mempelai wanita dan hanya dihadiri beberapa kerabat. Tidak ada resepsi, pun tidak ada pelaminan megah sebagai pelengkap di hari bahagia tersebut. Sesuai permintaan Adnan seminggu lalu sebelum mendaftarkan pernikahan mereka di KUA.

Adnan bisa saja menyewa sebuah gedung di tengah Ibukota dan menyelenggarakan resepsi pernikahan yang meriah, mengingat jabatannya sebagai asisten manajer di sebuah perusahaan kosmetik terkenal dan sang ayah yang merupakan anggota DPRD Kota Surabaya.

Namun, lelaki itu enggan menyiarkan pernikahan dengan perempuan yang tak pernah dicintainya sedikit pun. Lebih tepatnya, dia malu karena nama mempelai wanita yang tertera di undangan pernikahan berbeda dengan nama wanita yang dinikahinya saat ini.

Bahkan, tidak ada satu pun kerabat Adnan yang datang ke acara akad nikah, termasuk sang ayah. Mungkin, lelaki setengah baya itu malu karena perbuatan anak semata wayangnya itu.

Dalam balutan setelan kebaya putih dan kain jarik bermotif parang, Dina tersenyum semringah mendengar kabul yang dilontarkan Adnan sebagai tanda lelaki itu menerima dirinya sebagai istri. Yah, meski Adnan dua kali menyebut nama Aliyah Hapsari sebelum akhirnya menyebut namanya dengan benar.

Mengingat nama itu, seketika senyumnya memudar. Sepertinya, Adnan mempersiapkan dengan baik pernikahannya bersama perempuan bernama Aliyah Hapsari itu hingga menyebut namanya saat mengucap kabul tadi.

Aliyah Hapsari. Nama itu seperti tak asing di telinganya. Dina pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Akan tetapi, di mana?

***

"Ini kamar kamu. Kalau butuh apa-apa, panggil saya." Adnan menunjuk sebuah ruangan di sebelah kamar yang diperuntukkan bagi Dina. "Itu kamar saya. Tapi, jangan pernah masuk ke situ. Ingat, jangan pernah masuk."

Setelah melangsungkan akad nikah, Adnan langsung memboyong Dina ke rumahnya yang ada di wilayah Jakarta Barat. Rumah sederhana berdesain minimalis yang hanya memiliki satu lantai dengan dua kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, ruang TV merengkap ruang keluarga, dan dapur.

Tanpa menunggu jawaban Dina, Adnan akan berlalu. Namun, langkahnya tertahan karena panggilan perempuan itu.

"Mas."

Sebelah alis lelaki jangkung itu naik sebelah hingga membuat kernyitan tercetak jelas di dahinya. "Mas?"

"Iya. Aku enggak mungkin, kan, panggil kamu dengan sebutan 'pak'. Apalagi, kita udah nikah."

"Terserah," jawab Adnan yang membuat senyum Dina langsung merekah. "Kenapa kamu manggil saya? Ada pertanyaan?"

Dina menunduk sambil memainkan jari jemarinya. "Mmm ... kita enggak tidur sekamar?" tanyanya setelah mengumpulkan keberanian.

"Menurut kamu?" Adnan melayangkan tatapan tajam ke arah Dina, kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Perempuan yang akan menginjak usia kepala tiga itu mengangkat kepalanya sehingga membuat tatapan mereka bertemu. "Kita kan udah menikah, bukankah seharusnya tidur sekamar? Kalau beda kamar, sama aja kayak pisah ranjang dan—"

Love Us PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang