FFH || 01

50 14 19
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Dulu, ketika kebahagiaan menjadi luka"

***

Malam yang gelap ditemani awan mendung serta gemuruh. Angin berembus kencang membuat jendela tengah terbuka menyibak kain gorden begitu cepat. Seorang gadis berumur tujuh tahun berjalan cepat dan mencondongkan kepalanya sedikit ke luar jendela. Dia menatap segerombol awan hitam di tengah malam.

"Sepertinya akan hujan lebat," gumam gadis itu lalu menutup jendela itu.

Gadis itu berjalan sembari menguap, rasanya benar-benar hari yang melelahkan. Gadis itu mendudukkan dirinya di atas kasur. Dia berdoa sebentar, sebelum memasuki dunia mimpinya. Namun, seseorang mengacaukan niatnya untuk menuju alam mimpi. Gadis itu mendengkus kesal mendengar suara seseorang yang sangat familiar di telinganya.

"Tita! Tita ...!" teriak seseorang dari arah belakang gadis itu. Ya, gadis itu bernama Titania yang kerap disapa Tita.

Tita itu membalikkan badannya ke arah di mana suara itu berasal. Dia menemukan gadis kecil setara dengannya melambaikan tangan dengan lidah terjulur ke luar. Dia seolah mengejek, namun wajahnya yang lucu membuat kesan mengejek itu menghilang. Dengan pasrah, Tita mengikuti langkah gadis itu.

Sebenarnya, Tita sangat lelah seusai acara tadi, tetapi demi temannya, dia rela melakukan apapun. Termasuk mengikuti apapun kemauannya. Derap langkah tidak terdengar di telinga Tita, hal itu membuatnya berlari untuk mengetahui di mana keberadaan temannya itu.

Tita tersenyum melihat wajah gembira milik sang teman. Rasa lelahnya seakan hilang hanya dengan melihat wajah temannya. Mereka sudah kenal sejak lama, mereka seperti anak kembar jika dijajarkan. Mereka selalu bersama seperti perangko.

"Ayo kejar aku, kalau kamu bisa!" ucap gadis kecil bergaun merah muda itu setengah berteriak. Gadis kecil itu sesekali tertawa melihat wajah Tita yang sedikit kesal.

"Dea, jangan kabur kamu!"

Tita berlari mengejar gadis kecil itu dengan sesekali tertawa melihat langkah kecil temannya yang tengah berlari, langkahnya terlihat sangat aneh. Dia adalah Dea, teman Tita yang sangat baik menurutnya. Dea juga sangat perhatian, dia akan selalu membela Tita saat orang lain merendahkannya, karena Tita tergolong gadis yang lemah hingga sesekali orang membulinya.

Brukk ....

Tita tidak sengaja menabrak seseorang yang sedang membawa piring berisi makanan hingga orang itu menjatuhkan piring yang dia bawa. Orang itu menatap gadis itu tajam seakan ingin membunuh. Gadis itu takut, dia menunduk agar tidak melihat tatapan orang itu. Entah bagaimana, Dea datang dan membawa gadis itu pergi dari sana.

Gadis itu mengatur napas setelah berhenti dari langkah larinya. Tita menoleh ke arah Dea, yang tengah menatapnya dengan senyuman. Jantung Tita berdetak tidak normal, napasnya juga memburu akibat berlari tadi. Bagaimanapun juga, dia adalah gadis kecil yang takut akan tatapan tajam seseorang yang sudah dewasa.

"Tidak apa-apa, kok. Kamu tenang saja, mamaku tidak akan marah," ucap Dea sembari menaiki lantai keramik di sisi kolam.

"Kamu mau apa di sana? Nanti kamu bisa jatuh, Dea," ucap gadis itu khawatir.

"Tidak akan, ayo! Ini seru banget, Tita!" Ucap Dea dengan wajah kegirangan.

Gadis itu, tampak berpikir sejenak, lalu mengikuti langkah kaki Dea. Mereka berjalan berulang kali di pinggir kolam, hingga hal yang tidak terduga terjadi. Dea terpeleset dan jatuh ke dalam kolam, gadis itu kaget lalu memanggil nama 'Dea' panik. Air matanya meluruh dengan raut wajah sendu. Dia takut kehilangan Dea, dia sangat menyayangi Dea.

"Tolong, tolong, Dea!" tangis gadis itu menoleh ke sana ke mari, wajahnya terlihat pucat pasi.

Dea, yang tidak bisa berenang kini mulai kesusahan. Tita benar-benar tidak kuat melihat nasib Dea yang tidak berdaya di sana. Dia sangat merasa bersalah karena membiarkan Dea bermain di tepi kolam. Sekarang, Tita harus berbuat apa? Apa dia hanya diam sembari menunggu kematian Dea. Oh, tidak itu benar-benar gila, sangat gila.

"Dea!!!" Beberapa orang datang, membuat Tita menghela napas lega karena sekarang Dea telah di keluarkan dari kolam itu.

"Dasar, anak pembawa sial! Ini sudah ketiga kalinya kau membuat anakku, berada di zona kematian! Mulai saat ini, jangan menginjakkan kaki di rumahku lagi. Pergi kamu dari sini!" Mama Dea menatap Tita seakan ingin membunuh, dia menekankan kata 'pembawa sial' kepada Tita.

Tita semakin terisak di sana, dia menutup bibirnya agar suara isakan pilu dari bibirnya tidak keluar. Dia merasa bersalah pada semua orang, dirinya sering membuat teman-temannya menjadi celaka. Gadis itu, terduduk di keramik dingin kolam itu, gemuruh petir terdengar jelas di telinganya. Gadis itu merapat dirinya di kedinginan malam. Orang-orang tadi telah pergi, dirinya tinggal sendiri tanpa siapapun yang terlihat peduli.

"Hai, kamu kenapa?" Seseorang tampak berucap, Tita menoleh sambil berdiri dari posisi jongkoknya. Perlahan-lahan dia mundur dengan wajah takut. Anak laki-laki itu, mengerutkan keningnya.

"Jangan, jangan dekati aku. Aku tidak mau membuat orang lain terluka lagi," ucap Tita lalu berlari meninggalkan anak laki-laki yang tengah menatap bingung ke arahnya.

Tita masuk ke dalam rumahnya, bertepatan juga mamanya sedang berada di ruang tamu. Dia menatap khawatir gadis itu. Biasanya dia akan pulang dengan senyum yang mengembang, tidak seperti sekarang. Derai air mata membasahi pipi gembul Tita. Awalnya Tita meminta izin untuk menginap di rumah Dea. Namun, kini dia pulang dengan kondisi yang kacau.

"Hiks, jangan dekati aku, Ma. Aku tidak mau," ucap gadis itu ketakutan melihat sang mama ingin mendekatinya.

"Apa yang terjadi Tita, kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya sang mama dengan wajah khawatir juga sedih, melihat anaknya berubah menjadi lebih takut.

"Tita, anak pembawa sial, Ma, Tita telah membuat teman Tita sendiri celaka, Tita pembunuh, Tita pembunuh." Tangisan Tita keluar di hadapan sang mama.

"Tidak sayang, kamu tidak salah. Kamu tidak pembawa sial Tita, Mama yakin itu," ucap sang mama melangkahkan kakinya kembali.

"Tidak, Ma, itu semua sudah jelas. Tita tidak mau lagi dekat dengan siapapun, Tita tidak mau berteman lagi, Tita tidak ingin membuat seseorang celaka. Jangan hentikan Tita, Ma! Jangan pedulikan Tita lagi, Tita tidak mau Mama sama Papa, mendapatkan kesialan," cerca gadis itu lalu masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu tidak peduli lagi dengan reaksi mamanya lagi, baginya keselamatan seseorang lebih penting dari pertemanan.

Petir kembali bergemuruh ditemani hujan yang sangat deras. Dunia seakan mengerti kondisi Tita. Hujan meyamarkan isakan pilu yang keluar dari bibir manisnya. Mulai saat ini, kehidupannya akan berubah. Tidak ada lagi tawa yang menggema, tetapi hanya ada luka yang membekas.

Rasa takut akan semakin membelenggu jiwa Tita. Kesendirian akan menjadi temannya mulai saat ini. Dea? Tidak akan ada lagi Dea di kamus Tita. Hanya ada dirinya sendiri dan keheningan yang hadir.

***

13 Februari 2021

PinceSlovu

Fear For Hurting√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang