06: Realita yang sesuai ekspektasi

58 12 12
                                    

Aska berusaha mati-matian agar senyumnya tak nampak sekarang juga.

Sayla yang duduk di jok samping kemudi tengah bernyanyi dengan pelan mengikuti lagu yang terputar di mobilnya. Tadi Aska menawarkan diri untuk mengemudi yang ternyata langsung disetujui Sayla tanpa banyak berfikir.

Bukan suara Sayla yang membuat Aska ingin tersenyum, tetapi lirik dari yang Sayla nyanyikan yang terdengar asal-asalan. Di balik stir, Aska terus menerus mencoba memfokuskan diri dengan menyetir.

"Laper nggak, Sa?" tanya Sayla, "Nggak," jawab Aska cepat yang membuat Sayla mendengus.

Rambutnya Sayla ikat sehingga sedikit menampilkan tattoo dibawah telinganya. Aska melihatnya dengan jelas namun ia memilih untuk tak berkomentar, matanya kembali fokus ke jalanan.

Selesai dengan urusan rambutnya, Sayla kini meraih air mineral yang selalu tersedia didalam mobilnya. Meminumnya membuat Aska sedikit menelan ludah karena ia pun merasa haus.

"Nah nah nah, berhenti dulu tuh di depan!" heboh Sayla menunjuk ke angkringan.

Melihat Sayla yang kehebohan, Aska refleks langsung menurutinya.

Sayla melepas seatbelt, "Nggak laper kan ya? Yaudah aku makan sendiri, kamu tunggu aja disini," ujarnya dengan nada becanda kemudian keluar dari mobil meninggalkan Aska yang diam.

Sayla benar-benar meninggalkan Aska sendirian di mobil, memesan makanan kemudian duduk untuk menunggu pesanannya datang. Langkahnya terlihat ringan, berbeda dengan Aska yang kadang ragu untuk masuk atau datang ke wilayah yang menurutnya asing.

Pada akhirnya Aska mematikan mesin mobil dan berjalan untuk mengikuti apa yang baru saja Sayla lakukan; memesan dan ikut duduk menunggu pesanannya datang.

Bohong kalau Aska tidak lapar. Tadinya Aska enggan untuk makan diluar apalagi bersama Sayla, namun apa daya, daripada harus menunggu Sayla makan di dalam mobil sendirian sembari menahan rasa lapar dan hausnya?


Hari jelas sudah mulai malam. Karena tadi acara pameran dimulai dari sore, kini jam tangan yang melingkar ditangan kiri Aska menunjukan pukul 9 malam. Itu artinya sudah seharusnya Aska pulang dan kembali melanjutkan aktivitas membuat lagunya. Namun nyatanya ia harus terjebak bersama Sayla yang selalu tersenyum kearahnya dengan mata berbinar.

Bibir Sayla otomatis menyunggingkan senyumnya begitu melihat Aska melepas sepatunya hendak duduk dihadapannya, "Kamu tadi bilang pesanan atas nama siapa?" tanyanya penasaran.

"Jangan-jangan cuman nunjuk aku doang?" tebakan Sayla dibalas kerungan alis dari Aska, "Cuma bilang barengan yang barusan," jawaban dari Aska membuat Sayla tersenyum puas.

Sayla memangku dagunya menatap Aska dengan lekat, yang ditatap rasanya tak kuasa menahan senyumnya. Pertahanan nya runtuh, Sayla tertawa melihat Aska yang salah tingkah, pun Aska yang tertawa menertawakan dirinya sendiri.

"Kok muka Kak June nggak mirip Om Hanandi, ya? Kalau kamu kan mirip Om Hanandi banget. Eh, tapi bisa jadi kan ya Kak June mirip Ibu kamu," Aska menatap Sayla karena mendengar pertanyaan yang dilontarkannya, "Nggak tahu," Sayla mendengus tak puas dengan jawaban yang diberikan Aska.

"Kayaknya asik ya punya orang tua yang dukung penuh kemauan kamu," gumam Sayla menatap langit dengan gamang.

Sayla memang merasa iri terhadap Aska. Melihat Hanandi yang juga cinta terhadap seni dan membiarkan Aska menyelam ke bidang yang disukainya yakni seni, Sayla iri dengan itu.

Juga dilihat-lihat tadi Hanandi nampak akur dan akrab baik dengan June maupun Aska. Dan lagi-lagi, Sayla iri dengan itu.

Sayla hanya dekat dengan Bundanya, yang sayangnya terakhir bertemu ketika malam tahun baru. Sayla tidak terlalu dekat dengan adik satu-satunya, hubungan keduanya dapat dikatakan canggung.

orange; aska & sayla.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang