Pria Filsuf

1.3K 174 12
                                    

Xiao Zhan menatap cangkir di depannya yang mengepulkan asap. Ada kehangatan yang merambat saat matanya bertemu pandang dengan mata pria di depannya. Ternyata waktu sembilan tahun tidak merubah pesona pria itu, justru ketampanan dan daya tariknya semakin berlipat ganda.

"Wu ...." Zhan menghentikan ucapannya, ia merasa canggung luar biasa. Harusnya ia bersikap biasa saja, toh mereka hanyalah teman lama, tak ada hubungan yang spesial di antara keduanya. Setidaknya itu yang terlihat di luar, di dalam hati siapa yang bisa menyelami.

"Bagaimana kabarmu?" Pria itu tampak tenang, sikapnya tak berubah selalu bisa meluluhkan dan menentramkan. Pandangannya lembut, berbeda jauh saat dulu mereka masih terlibat debat atau diskusi. Pengetahuan yang luas, sikap kritis dan dinamis pernah membuat hati Zhan menjerit.

"A-aku baik, bagaimana denganmu?"

Pria itu membuka kacamata dengan tangan kirinya, sengaja atau tidak itu membuat Zhan bisa melihat jari-jarinya yang panjang tanpa cincin pernikahan. Namun, Zhan urung bertanya, mana mungkin di pertemuan pertama mereka, ia akan menyinggung soal pernikahan yang bersifat pribadi. Meski gerak-gerik pria itu seperti membuka jalan agar bertanya.

"Kau lihat Zhan, aku baik-baik saja sekarang. Lebih baik dari sebelumnya." Kata 'sebelumnya' mengandung banyak makna. Zhan mengenal pria ini, setelah tiga tahun berada dalam satu naungan dunia pendidikan. Ia paham, kata-kata pria yang dulu dijuluki 'terbaik' di sekolah. Menyampaikan filosofi hidup dengan kata sederhana sarat makna.

Xiao Zhan mendongak, sambil menyesapi kopi hangat. Pria itu mengangkat sudut bibirnya ke atas, mengikuti Zhan mengangkat cangkir dan menghirupnya.

"Aku tak sangka kau juga mulai menyukai kopi." Zhan berusaha mengalihkan tema.

"Sesuatu bisa berubah, dulu kopi tidak begitu penting. Semakin dewasa dan memiliki banyak tanggung jawab, kafein bisa sangat dibutuhkan meski rasanya tak sesuai selera kita."

Yak!!! Lagi-lagi pria itu berfilosofi, membuat Zhan tanpa sadar merona, ia menoleh ke arah lain, melihat pengunjung yang baru datang dan berjalan melewati mejanya. Kata-kata pria ini memang selalu bisa membuat Zhan tersipu. Padahal itu hanya sebuah ungkapan yang bersifat umum, tidak khusus ditujukan padanya.

.
.
.

Xiao Zhan menyerahkan tas kerja dan jasnya pada pelayan yang menyambutnya di depan pintu. Ia mengabaikan ucapan wanita tua itu untuk makan terlebih dahulu. Xiao Zhan memilih menaiki tangga menuju lantai dua. Ia menengok kamar kedua puterinya, yang sudah tertidur pulas.

Xiao Zhan mendekati keduanya, lalu menciumi pipi mereka bergantian. Membenarkan letak selimut, sebelum ke luar dari kamar. Ia merogoh saku celana, mencari benda pipih yang tak juga berbunyi sejak tadi.

Mencari jejak notifikasi dari sang suami, yang lagi-lagi tidak ada. Xiao Zhan akhirnya menyerah, ia memilih berendam di bak dengan air hangat untuk meredakan penat.

Ia letakkan ponselnya di nakas, ia tak yakin jika Wang Yibo masih sempat mengabarinya malam ini. Mungkin suaminya itu kelelahan setelah seminar dan langsung tertidur di kamar hotel.

Xiao Zhan memutar piringan hitam di sudut ruangan, mendengarkan musik klasik sambil berendam adalah kebiasaannya seusai melakukan kegiatan yang melelahkan seharian. Setelah tadi konser buku, penandatanganan kontrak dengan production house, menetapkan konsep, lalu terakhir minum kopi bersama penggemar spesial yang sangat menguras emosi hatinya.

Jangan berlebihan Zhan, dia hanya mantan teman, bukan siapa-siapa. Lebih baik kau berbaring saja di bathub, dan lepaskan semua gundah gulana. Besok Wang Yibo akan kembali, kalian bisa menikmati hari libur bersama.

.
.
.

"Ingin mengunjunginya?" Yuki melirik Yibo yang menyetir di sebelahnya. Yibo berdehem satu kali, tanpa menoleh ia menjawab pertanyaan mahasiswi itu dengan suara datar, "Urusan kami telah selesai, tidak ada yang perlu dibicarakan!"

"Anda yakin?" Yuki menyela cepat. Yibo menghentikan mobil mendadak, ia berbalik menatap Yuki tajam.
"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Dia hanya masa lalu, selamanya akan begitu. Memiliki hubungan tiga tahun bukan berarti dia masih berarti."

Yuki balas menatap Yibo tajam, gadis muda ini tak memiliki sedikitpun rasa takut. "Tapi baginya Anda sangat berarti,"

Yibo mengeratkan genggamannya pada kemudi, udara terasa semakin menipis, ia berusaha meraup oksigen sehingga embusan napasnya terdengar keras.

"Aku akan menghubungimu lagi besok pagi, sekarang turun dari mobilku! Arah kita berbeda."

"Kau bisa menunggu bis di sana!'' Yibo menengok dari kaca ke arah kiri, di mana tulisan halte tertera di pinggir jalan. Gadis itu dengan sikapnya yang tenang membuka sabuk pengaman, sebelum Yibo menginjak pedal gas. Gadis itu menunduk memberi hormat pada Yibo.

"Terima kasih tumpangannya, Pak! Saya tunggu besok pagi," ucapnya. Ia melambai dengan gerakan yang bisa dipahami sebagai tanda 'sampai jumpa lagi'

.
.
.

Yibo memutar mobilnya, ia tidak kembali ke apartemen yang disediakan pihak kampus. Ia memilih mengunjungi suatu tempat.

Sebuah villa kecil terletak di pinggiran kota, dengan tekstur yang sederhana. Ada pohon besar yang daunnya menutupi atap rumah berlantai satu. Di depannya ada kolam ikan kecil yang tak terisi, beberapa tanaman liar yang merambat di pagar.

Yibo menghentikan mobilnya ketika masuk pekarangan. Ia mengambil napas panjang, sebelum turun dari mobilnya. Sebelum melangkah masuk, ia melirik jam tangan miliknya. Belum terlalu malam.

Yibo mengambil dompet coklat dan membuka resleting kecil, di mana sebuah kunci mungil tersembunyi. Yibo menarik napas sekali lagi, dalam hati meragu, tapi keinginannya untuk masuk ke dalam masih tinggi. Dengan kunci kecil itu, ia membuka gembok yang ada di depan pintu.

Begitu pintu dibuka, udara yang dipenuhi debu membuat Yibo harus menutup hidung. Ada sesak yang membuatnya sulit bernapas, selain udara yang pengap ada bayak hal pula yang menjadikan dadanya terasa penuh.

Ruang tamu yang tidak begitu luas, menyambutnya. Tak ada kursi dan meja, hanya lemari kecil tempat televisi. Di sisi kiri ada pintu kamar, di sisi kanan ada pintu menuju dapur. Yibo memilih memasuki kamar yang warna pintunya sudah memudar. Sudah berapa tahun, Yibo lupa. Hanya sesekali ia menyuruh seorang pekerja untuk membersihkan rumah ini.

Rumah impian yang dulu menjadi tujuannya pulang. Rumah yang memiliki kenangan, namun ia tak sudi lagi mengenang.

Yibo membuka pintu kamar, ruangan itu masih sama semenjak ia tinggalkan dua tahun yang lalu. Gorden warna abu-abu, sprei warna biru. Mungkin telah dicuci dua bulan yang lalu oleh pelayannya. Lemari dua pintu masih berdiri di sana, dengan nuansa coklat muda yang sederhana.

Ada sedikit debu, namun tak menghalangi tangan Yibo untuk membukanya.

Tak ada apapun di dalam lemari, beberapa ekor kecoa melompat dan bergegas lari. Yibo tak menghiraukan mereka, ia lebih tertarik membuka laci yang tersembunyi di dalam kotak lemari kedua.

Yibo menarik laci itu pelan-pelan, ia berharap isi di dalamnya sudah habis dimakan rayap. Nyatanya lembaran kertas di sana masih ada, meski terlihat sangat usang dan pinggirnya aus dimakan usia tahunan.

Yibo mengambil kertas yang dibungkus amplop warna cokelat tersebut. Meniup sedikit serpihan kayu di atasnya.

Dengan dua kali tarikan napas, ia membuka amplop tersebut. Dadanya tiba-tiba berdegup, saat tanggannya memegang sesuatu, yaitu sebuah gambar ukuran A4.

Gambar dirinya dan seseorang yang tengah merangkulnya.

"Sudah kukatakan, jangan mengusik hidupku lagi," ujar Yibo seolah pada seseorang di gambar tersebut.








Tbc.





Setiap pembelian pdf ini+Sex Paylater free pdf Zhanpunsel





211121

The Book Hasn't End(tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang