Guindigo
Pingguin Anak Duda~~~~
Jangan Bilang-Bilang
"Guinandra! Minyak rambut di mana?!"
Mata yang tadinya memejam rapat, kini dipaksa terbuka karena teriakan seksi dari Papi. Masih pagi, dia sudah kembali menjadi toa jadi-jadian, dan itu berlangsung setahun terakhir.
"Minyak rambut, minyak wangi, minyak tanah. Enggak ada yang lain selain minyak? Contoh, keju lumer di pagi hari, dengan roti panggang yang nikmatnya aduhai, membahana." Aku bergumam masih memeluk guling, beruntung Tuhan memberi wajah tidak terlalu buruk ini tanpa embel-embel iler.
Oh, ada yang terlupa, aku masih belum memperkenalkan diri. Kenalkan, namaku Guinandra Kenway, hanya namanya saja yang kebule-bulean, padahal wajah begitu lokal. Tidak! Jujur saja, hidung mancung dan mata lucu ini entah dari mana, bahkan senyuman manis mengundang maut menyertai. Akan tetapi, jangan khawatir, aku tetap cinta Indonesia. Contohnya, lebih menyukai gadis lokal yang lugu, sopan, dan murah senyum, seperti kamu. Iya kamu, kamu yang suka halu.
Setelah beberapa menit berusaha membuka mata, akhirnya aku tersadar akan sesuatu. Papi menanyakan minyak rambut tadi, dan aku masih enggan untuk bangkit dan menemui Papi yang sudah ribut masalah minyak rambut. Ah, pemuda sepertiku tidak pernah memakai benda semacam itu, karena tanpanya aku sudah begitu digandrungi gadis-gadis, terutama junior di kampus.
"Jangan muji diri sendiri terus, dengernya jijik!"
Suara makhluk astral di bangku belajar membuatku ingin membacakan Ayat Kursi. Dia adalah cowok sok dingin dan sok kalem, namanya Nathanael, alias Solimi.
Plak!
Lihat, dia memukul kepalaku tanpa perasaan, dia belum tahu saja, aku memiliki senjata ampuh mengusirnya."Lo enggak bisa ngusir gue, sekarang lo ambilin dulu minyak rambut bokap lo!" Nael memerintah. Parahnya, dia suka sekali membaca pikiran orang, dasar tidak sopan.
"Numpang di rumah gue aja pakai ngatur lo!" Aku mengumpat seraya membuka laci di kamar. Sumpah, deh, berani disambar cinta aku tidak mengambil minyak rambut Papi. Herannya, lelaki itu selalu menanyakan barang yang dia pakai dan taruh sendiri. Ya ampun, padahal papiku masih gagah dan tampan, meski sudah duda sekalipun, tetapi penyakit lupanya sudah menguji kesabaran anaknya.
Pintu terbuka, menampakkan wajah Papi yang sudah segar seperti air lemon di siang hari ditambah es.
"Jangan ngayal! Ini masih pagi!" Nael membuyarkan lamunanku. Tidak ingin ketahuan Papi karena mengobrol dengan makhluk pucat, aku lebih memilih untuk tidak menanggapi Nael.
"Sumpah, Pi, aku enggak pernah megang minyak rambut. Lagian udah ganteng gini," kataku seraya kembali ke kasur.
"Udah ketemu dari tadi, ternyata di dapur."
Hah? Ada minyak rambut menyasar ke dapur? Seketika berdoa semoga roti bakarku tidak pakai selai minyak rambut Papi.
"Papi berangkat ke kantor dulu, jangan lupa sarapan sebelum ke kampus. Jangan lupa kunci pintu, sama satu lagi–"
"Jangan suka ngomong sendiri," potongku sudah hafal dengan peringatan Papi. Ya, lelaki itu takut anaknya gila karena meratapi kepergian maminya, apalagi sering memergokiku berbicara sendiri. Ah, dia tidak tahu saja anaknya memang sudah tidak waras.
Sebenarnya, aku tidak berbicara sendiri, melainkan bersama makhluk yang sering orang sebut H A N T U. Jangan bilang-bilang.
"Ya udah, Papi berangkat." Papi terlihat menghentikan langkahnya di ambang pintu, dia kembali memutar tubuhnya menatapku. "Kuliah yang bener, dandan biar kayak cowok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.
HumorANAK INDIGO. Menjadi anak seorang duda? Cukup menderita. Apalagi Papi tidak kalah gagah dan keren, sebab ada kemiripan hidung dan cara senyum yang diwariskannya. Namun, ada gang lebih membuatku sengsara, yakni semenjak ditinggal mendiang Mami dan ma...