40. Rasanya Menjadi Anak Seorang Duda (PAD)

3.3K 883 81
                                    

Rasanya Menjadi Anak Seorang Duda


"Sebelah kiri, kiri!"
Kehebohan di belakang rumah semakin terasa saat Raden tengah mengambil mangga dengan galah, tetapi selalu meleset.

"Kalian enggak lihat itu mangga masih mentah-mentah?" tanya Papi reflek membuat kami menengadah.

"Mentah kayak kita, Pi. Kita juga masih mentah dan gagah perkasa." Jawabanku membuat dua teman lainnya tertawa.

"Biarin itu mateng dulu. Bantuin nyiram tanaman, termasuk kalian berdua." Papi memerintah pada kami bertiga. Alhamdulillah, tidak sia-sia membawa teman ke rumah.

"Cepetan siram, tapi hati-hati." Papi beranjak menyiapkan selang. Kami bertiga pun mengikutinya dengan patuh.

"Om, habis ini boleh makan?" Sakya tiba-tiba bertanya.

"Makan angin?"

Aku dan Raden tertawa mendengar jawaban lelaki yang sudah masuk kepala empat itu.

"Pi, koleksi tanaman yang lain, kek. Contoh pohon cemara." Aku protes karena Papi seperti wanita, mengoleksi tanaman hias yang bagiku sangat-sangat menyebalkan.

"Gitu-gitu juga Mami kamu yang mau."
Benar juga katanya, dia masih menjaga tanaman kesayangan Mami.

"Om Lingga! Om Lingga!" Seorang gadis berteriak menghampiri kami dengan panik.

"Ada apa?" Papi bertanya.

"Bunda, Om. Bunda sakit sampai pingsan di kamar mandi." Beby mengadu apa yang terjadi.
Sontak, kami terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Bu–Bunda kamu sakit apa?" Papi menatapku, terlihat meminta izin untuk menolong, hanya saja seperti tertahan.

"Tolong bawa Bunda ke rumah sakit, Om!" pinta Beby seraya menangis histeris.

Raden dan Sakya menyenggol lenganku, matanya memberi kode untuk aku bergerak menolong.

"Pi, siapin mobil, biar kita bertiga yang bopong bundanya Beby," ucapku lalu masuk ke rumah gadis itu dengan langkah pasti.

Ketika sampai di kamar mandi tempat Tante Inez pingsan, aku langsung meraih kakinya dan Sakya kepalanya, sedangkan Raden bagian tubuhnya.

"Lo nyari aman, kakinya doang biar enteng," gusar Raden paling keberatan.

"Kakinya bau, mau?" tawarku dan membuat pemuda itu menggeleng.
Setelah itu, kami bawa wanita itu ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

"Kamu mau ikut?" tanya Papi. Pasti dia tidak enak pergi sendiri dengan wanita yang selama ini aku benci.

"Ikut."

~~~~

Melihat ada bahu lain yang ditepuk lelaki itu membuat dada bergetar seperti gempa. Baik, itu berlebihan.

Gadis bawel yang selalu membuatku kesal, kini menangis tersedu dan tidak dapat mengatakan sepatah kata pun. Papi berusaha menenangkan dan aku memilih diam dengan segala kepolosan.

Mendadak ingat ketika aku yang di posisinya, duduk dengan hati yang tidak pernah tenang menunggu kabar Mami baik-baik saja. Namun, hatiku dihancurkan saat Dokter menyatakan Mami tidak lagi bernapas.

"Lo tau rasa sakitnya jadi Beby, tapi lo masih bisa sok dingin kayak es serut." Nael yang lebih enak dipandang ketika diam mulai berceloteh.

Sakya dan Raden tidak ikut, sehingga Nael yang paling bawel setelah mereka tidak ada.
Kalau dilihat, wajah Beby kasihan juga.

Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang