15. Romantis (PAD)

4K 999 59
                                    

Romantis

"Itu, Kak, sepatu Auris kayaknya dicuri sama orang, pas ke toilet dilepas." Ucapan gadis berpipi tembam membuatku sedikit terkejut.

Pasalnya, tidak sengaja dengan izin Tuhan dan alam semesta, aku bertemu Auris dan Ciara yang baru selesai olahraga. Keduanya tengah di halte dengan peluh membasahi kening.

"Masa ke toilet bisa dicuri?" Aku masih bingung, karena sepatu pacar Nael diambil orang saat ke toilet.

"Kan aku cuci kaki makanya dilepas, tapi pas keluar sepatunya udah enggak ada," jelas Auris.

Aku melihat ke arah kakinya, sepertinya dia sudah berjalan sejak tadi, terbukti dari telapak kakinya yang sudah kotor. Kasihan sekali dia.

Tanpa berpikir panjang, aku melepas sepatu dan memberikannya pada gadis itu. "Pakai aja, rumah lo lebih jauh daripada gue. Lagian gue pakai sepeda."

Auris menggeleng mantap. "Enggak, Guin, kamu pakai aja. Aku bisa nyeker, kok, ke rumah."

"Jangan nunggu Nael gentayangin gue gara-gara biarin ceweknya nyeker." Aku jongkok dan langsung memasangkan sepatu ke kaki Auris. Bukan cari kesempatan, ini semua kulakukan karena aku laki-laki sejati. Tidak seperti Nael yang kaku seperti cetakan alis seorang gadis.

"Enggak usah, Guin!" Auris menolak lagi, tetapi aku tetap melakukannya. Masalahnya aku tidak membawa uang untuk setidaknya membelikan sendal, tidak apa berkorban demi kekasih hati hantu yang masih terluka itu.

Setelah selesai, aku menyengir. "Maaf, sepatunya bau."

Auris tampak tersenyum kaku, tidak jauh berbeda, Ciara juga menatapku aneh.

"Makasih, Guin," ucap Auris dengan senyuman andalannya. Curiga kalau gadis berambut panjang itu memiliki gula berkadar tinggi di senyumannya, manis sekali.

"Sama-sama."

"Kak Guinan romantis banget, sih?" celetuk Ciara seraya mengigit jarinya. Kuharap dia tidak habis mengupil, jangan membayangkan.

"Gue dari lahir diciptakan untuk jadi laki-laki yang tidak menyakiti wanita, terutama Auris." Aku menjawab seraya menaikturunkan alis ke arah keduanya. Beruntung Nael kembali menghilang, jadi aku bisa mengeluarkan jiwa kejomloan ini tanpa ketahuan.

"Mentang-mentang Bang Nael udah enggak ada, ya?" sindir Ciara tepat sasaran. Hanya saja dia berpikir Nael tidak ada karena meninggal, padahal dia masih menjadi Setanael yang sangat tidak berguna, persis seperti upil yang mengganggu hidung ketika hendak bernapas, bagiku.

Aku hanya terkekeh seraya menggaruk tengkuk yang memang gatal. "Tapi kita berdua cocok, 'kan?"

Auris mendecak. "Kamu apaan, sih?"

Lihat, gadis itu malah protes, entah salah tingkah atau malah sebal. Lagi pula, aku hanya bercanda, mana mungkin menggoda kekasih hantu gentayangan yang urusannya saja belum selesai.

"Oh iya, biar gue cariin taksi, ya?" Aku menawarkan bantuan, pasalnya tidak mungkin mengantar keduanya pakai satu sepeda.

"Enggak usah, Guin. Justru aku bingung gimana sama kaki kamu yang harus goes sepeda," tolak Auris tampak masih merasa tidak enak.

"Santai, surga anak-anak, 'kan, ada di telapak kaki Ibu, bukan gue." Celetukanku membuat kedua gadis itu kembali menatap aneh. Kali ini sampai terdiam lama, katakan, apa ada upil di wajahku?

"Kakak belajar gombal di mana? Kan Kakak kuliah di jurusan design?" Ciara bertanya seolah aku tidak boleh menggombal hanya karena anak design.

"Bukan gombal, tapi kalian ini wanita, memang harus dijaga." Lihat, aku mulai sok alim, atau memang sebenarnya begitu.

"Iiih, Kakak jangan gitu dong, aku enggak kuat digituin." Ciara memukul lenganku.

"Tangan kamu!" Auris memprotes seraya menahan tangan sahabatnya agar tidak kembali memukulku.

"Kok, kamu enggak terima? Kayak kamu yang punya Kak Guinandra aja," celetuk Ciara seraya melempar tatapan pada Auris, lalu bergantian padaku. Aku tetap diam, cool adalah jalan ninjaku kalau sedang begini.

"Bukan gitu, tapi–"

"Kamu cemburu, ya?" Ciara menyenggol tubuh Auris dengan celotehan menggoda. Pacar Nael pun hanya memprotes lewat tatapan tidak terimanya.

"Ya udah kalau gitu. Aku duluan jalan, mau beli es krim, kamu pamit dulu sama Kak Guinandra sayang." Ciara beranjak setelah menoel dagu sahabatnya.

Auris tertegun, mendadak canggung karena hanya menyisakan kami berdua. Lebih-lebih, aku berubah menjadi pendiam seperti patung di toko sejak tadi.

"Guin."

"Hm?" Aku menyahut saat gadis itu memanggil.

"Boleh pinjam kalungnya enggak? Sehari aja."

Reflek aku memegang kalung Nael yang sampai saat ini masih kupakai. "Boleh."

Aku melepasnya, lalu memberikannya pada Auris. Pasti gadis itu belum dapat melupakan Nael. Pantas, karena mereka dipisahkan maut saat cinta tengah berbunga-bunganya.

"Makasih, ya."

Aku mengangguk, detik selanjutnya dikejutkan oleh tangan Auris yang mengelap keringat di keningku tanpa izin dengan handuk kecil.

"Lain kali jangan lupa bawa handuk keringat kalau olahraga," sambungnya.

Tunggu, mengapa jantungku berdegup kencang mendapat perhatiannya? Ya ampun, sepertinya efek terlalu lama sendiri sampai seberlebihan ini. Ayo Guinan, kamu bisa melewati ujian ini.

"Jangan gitu, Ris. Nanti Nael cemburu, kita bukan muhrim, loh?" tegurku menutupi kegugupan. Padahal hampir pingsan karena mendadak darah rendah.

"Kalau Nael cemburu, dia enggak akan ninggalin aku. Aku duluan, ya?" Auris melambai dan melenggang pergi dengan sepatu kebesaran milikku.

Sebenarnya dalam hati curiga, karena aku melihat ada kekecewaan di setiap penuturannya. Namun, apa Auris benar-benar menyukaiku? Karena perhatiannya lebih dari yang seharusnya.

"Emang enggak ada yang bisa nolak ketampanan keturunannya Kenway." Mulai percaya diri lagi.

Ketika akan melanjutkan perjalanan pulang, aku baru menyadari kaki telanjang yang terlihat kemerahan. Perjuangan baru akan dimulai ternyata.

Akan tetapi, perhatian teralihkan pada sosok di seberang jalan. Ada seorang wanita menatapku dengan tajam, dia bukan manusia. Padahal ini siang hari, mengapa dia berkeliaran di jalan, mengganggu mata saja. Tunggu, ketika diperhatikan lebih lama, sepertinya aku pernah melihatnya, tetapi di mana?

Ah, lampu merah tempat aku menemukan Nael, ya, dia juga pernah terlihat di sana. Namun, mengapa dia di sini dan menatapku? Jangan sampai dia menjadi generasi Nael ke dua sebagai hantu kurang kerjaan.

"Terpesona, aku terpesona ...." Aku mengayuh sepeda seraya pura-pura tidak lihat, sesekali mata melirik dan mendadak bulu hidung berdiri. Auranya sangat negatif, sampai suara angin membawa sebuah bisikan.

"Aku tau kamu kenal Nael."

.
.

*****

Guinan-nya gila, tapi tetap bikin jatuh cinta.

Bulu idungnya berdiri kalau lihat hantu cewek itu. Siapa ya sebenernya? Udah dua kali dia lihat.
Yuk, voment.
Udah double update nih.

#SalamGuinan

Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang