Happy read.
~~~~
Ting tong!
Suara bel rumah membuatku langsung melirik Nael, apa itu Auris?"Papi buka pintu dulu."
Lelaki itu beranjak keluar setelah meletakkan mangkuk di meja."Apa itu Auris?" Seketika menyesal karena bertanya, seharusnya aku tidak terlalu bersemangat.
"Semoga aja bukan." Nael memang menyebalkan, katanya tidak cemburu.
"Bang Guinandra Kenway!" Seruan itu terdengar dari ambang pintu. Wajah pemuda berkacamata terlihat memamerkan senyuman lebar. Raden datang dengan menenteng sekantong plastik yang sepertinya jeruk.
"Sakit apa lo? Hati?" tanyanya membuatku sedikit kesal sekaligus menyayangkan. Bukannya Auris yang datang malah Cumi.
"Sakit mata lihat lo datang cuma bawa jeruk sekresek doang."
Raden terbahak sampai terpingkal. "Gue bawa duit dikit tadi. Niatnya mau bawain sekeranjang, cuma duitnya enggak cukup."
"Satu keranjang? Kulitnya doang paling."
Raden kembali tertawa, sepertinya sedang bahagia. Biasanya dia datang dengan sejuta aduan perihal IQ, ah! Dasar sok pintar.
"Ngomong-ngomong lo belum hubungin Sakya masalah Hana?"
Pertanyaan Raden kali ini membuatku tersadar. Aku melupakan Sakya yang masih belum akur semenjak masalah Hana."Belum, dia aja belum hubungin gue. Gengsilah hubungin duluan!"
"Enggak lo, enggak Sakya, sama-sama gengsinya setinggi tiang listrik depan rumah," cela Raden.
"Gue enggak gengsi!" seru pemuda dari luar kamar. Sakya, pemuda itu masuk dengan senyuman setengah yang menurutku songong.
"Gue bawa jeruk." Sakya menaruh sekantong plastik jeruk ke meja.
"Lo niat bikin gue mati overdosis jeruk?" Seketika aku protes dan membuat dua orang itu tertawa.
"Gue enggak tau Raden bawa jeruk juga. Seenggaknya plastik gue lebih putih," sahut Sakya lalu memelukku tanpa izin, lalu mengucap maaf meski lirih.
"Lo mau bikin gue mati? Sesak," rintihku berusaha menyingkirkannya.
"Sorry." Sakya melepas pelukannya, lalu tersenyum tanpa dosa.
Dengan lemas aku bertanya, "Baru sadar kalau lo salah udah pilih Hana?"
Sakya terkekeh. "Gue juga heran, biasanya gue enggak akan marah kalau cewek gue nakal, padahal tinggal cari lagi. Kayaknya gue kesel karena yang kena Om Lingga."
"Alesan," balasku masih kesal.
"Serius. Ngomong-ngomong, lo kecelakaan di mana sampai lutut lo busuk gitu?"
Aku memukul tubuh Sakya dengan bantal. "Kaki gue masih mulus. Itu mulut dijaga dong. Temen lagi sakit juga."
"Dih, makin galak kayak kingkong baru punya anak." Lihat, Sakya dan Raden terbahak bersama. Ingin sekali melempar lalat ke mulut keduanya sebagai cemilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.
HumorANAK INDIGO. Menjadi anak seorang duda? Cukup menderita. Apalagi Papi tidak kalah gagah dan keren, sebab ada kemiripan hidung dan cara senyum yang diwariskannya. Namun, ada gang lebih membuatku sengsara, yakni semenjak ditinggal mendiang Mami dan ma...