Bonus Part: Merinding

4.1K 1K 85
                                    

Kolong Meja

Setelah mengantar Auris pulang, aku langsung beranjak tanpa mampir lebih dulu. Apalagi ini sudah menjelang magrib, dan Nael sengaja ingin ditinggal di rumah Auris, katanya ingin melihat keadaan gadis kesayangannya yang sudah dia tinggal ke alam lain. Sebenarnya, aku tahu Auris menahan diri untuk tidak menangis tersedu di makam sampai pulang. Terlihat beberapa kali dia menahan napas dan menghelanya dengan berat. Matanya juga sering berkaca-kaca, meski dia berusaha selalu mengalihkan pembicaraan untuk menghindari obrolan tentang Nael. Pasti sangat berat menjadi Auris dan Nael.

Ngomong-ngomong, sejak pulang dari kuburan, aku merasakan bulu kuduk terus saja berdiri. Beberapa kali tangan juga gemetar, kupikir kedinginan, ternyata karena sedikit takut. Meski biasa berhadapan dengan makhluk tak kasat mata, bukan berarti aku selalu menjadi pemberani. Bayangkan saja, baru setahun beradaptasi setelah mata batin terbuka, tidaklah mudah.

Jalanan yang sepi semakin membuatku was-was. Penasaran dengan keadaan, aku menepikan motor dan menoleh ke belakang sebentar. Pepohonan yang rindang membuat suasana semakin gelap dan seram. Apalagi jalanan terlihat sepi pengendara. Di belakang sana ada seorang Kakek berdiri di pinggir jalan. Entah apa yang sedang dia lakukan di sana sendirian. Tubuhnya tidak bergerak, seperti menatap kosong ke satu arah, aneh.

Setelah merasa tidak ada apa pun, aku kembali melanjutkan perjalanan dan fokus menyetir. Namun, sialnya bau amis menyengat hidung. Angin mendadak kencang menerobos pori-pori sehingga membuat merinding. Kaki juga terasa gatal ingin lari, padahal tidak ada yang perlu di takutkan.

Mata sudah tidak dapat diam, selalu melihat ke belakang dari kaca spion. Akan tetapi, masih tidak ada apa pun. Melihat lagi ke spion, dan masih aman. Melihat kembali ke spion dan astagfirullah, ada yang membonceng sembari menyeringai.

"Allahu la ilaha illa huwal hayyul qayum, lata khuzuhu sinatuw wa la na'um." Aku melajukan motor seraya terus merapal doa. Sampai di rumah, aku langsung lari ke dalam dan menaikan sarung sampai atas lutut.

"Papi!" teriakku saat rumah gelap gulita. Mengapa lampu belum dinyalakan, padahal sudah hampir magrib.

"Papi!" Aku berpegangan benda-benda di rumah untuk masuk, sembari menahan hawa dingin di sekujur tubuh meski keringat sudah bercucuran. Setelah konsentrasi kembali, baru ingat ada ponsel di saku.
Aku menyalakan senter ponsel dan dibuat hampir jantungan karena wajah seseorang tepat berada di depanku. Beruntung tidak langsung kupukul, karena itu wajah Papi.

"Papi? Kenapa lampunya belum dinyalain?" tanyaku masih gemetaran.

"Papi lupa bayar listrik."

Bagus, pria itu memang bisanya membuat repot anaknya.

"Transfer aja apa susahnya?" Aku mendecak dan sesekali melihat ke luar rumah yang gelap, takut hantu tadi masih mengikuti.

Melihat Kakek tua yang sempat terlihat di kaca spion masih di luar, aku menarik Papi ke kolong meja dan mematikan senter ponsel. Cahaya lampu tetangga masuk dari sela-sela kaca jendela, dan penglihatan tidak begitu bagus di sini.

"Ngapain kita di sin–"

Aku menutup mulut Papi, memintanya untuk diam, lalu aku berbisik, "Main petak umpet."

Sebenarnya, aku tidak ingin Papi tahu anaknya dapat melihat makhluk seperti mereka. Pasalnya dia tidak mudah percaya dengan hal demikian.

"Petak umpet sama siapa?" Papi bertanya dengan suara lirih.

"Sama maling."

Papi menatap heran ke arahku, sudahlah, dia itu memang tidak paham.

"Cucu!" Suara Kakek itu terdengar.

Sial, tubuhku semakin gemetar karena ketakutan. Kadang, meski biasa bertemu mereka, aku akan jatuh sakit jika bertemu dengan yang tidak cocok atau 'jahat'.

"Suara siapa itu?" Kali ini pertanyaan Papi membuatku mendelik padanya.
Apa Papi dapat mendengar suara Kakek tua itu? Bagaimana bisa?

Srek! Srek! Srek!
Kakek tua itu menggorok meja yang kami gunakan untuk bersembunyi.

"Bantu Kakek, Cu!" ucap hantu itu dengan suara gemetar dan sedikit rintihan.

Aku terus menjaga Papi di bawah sini, dan baru menyadari Papi setakut itu sampai memegang lenganku begitu kuat. Seketika hubungan anak dan Bapak menjadi erat jika ada kegentingan.

Srek! Srek! Srek!
Beberapa kali Kakek tua itu masih menggorok meja, dan parahnya saat goroknya diturunkan, aku melihat betapa mengkilap dan tajamnya gorok itu.

Bertahan di kolong meja adalah hal konyol yang tidak akan dipilih jika ada cara lain.
Jantungku berdegup kencang ketika Kakek itu berhenti menggorok dan menjatuhkan benda tajam itu ke lantai.

Suasana hening, kupikir Kakek itu akan pergi, nyatanya dia malah membungkuk untuk mengambil goroknya. Tangannya membusuk, baju longgarnya sobek-sobek.

Keringat sudah mengucur di kening, takut kalau-kalau Kakek itu menangkap kami. Apalagi di sini ada Papi yang entah melihatnya atau tidak.

Tangan Kakek itu semakin ke bawah. Aku menahan napas dan membekap mulut agar tidak bersuara.
Kepala Kakek itu mulai menunduk dan mengambil goroknya. Aku dapat melihat kulitnya yang keriput dan rambutnya yang putih. Detik selanjutnya dia menoleh tepat ke arah kami dengan mata melotot keluar.

"Aku tau kamu di situ!" Dia mencekal kakiku.

"Papi!" Aku menendang hantu Kakek itu dan keluar dari kolong.

Bersamaan dengan itu, lampu menyala dengan terang. Tidak ada hantu, tidak ada bekas gorokan di meja, tetapi kakiku terasa perih karena dicekal tadi.

Papi yang di kolong langsung keluar dengan susah payah dan terdengar bunyi sesuatu yang panjang.

Duuut!

"Papi udah nahan kentut dari tadi di kolong."

Astaga, anaknya sedang ketakutan dan bapaknya malah melawak.

.

.
****

Ada yang merinding?
Cuma Bonus.

Seru enggak?
Mau lagi enggak sebagai bonus?

Sambil nunggu update, kenapa enggak baca cerita punyaku yang lain? Coba cek akunnya deh.

Guindigo (Pingguin Anak Duda) End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang